Ziarah Negeri Merah

Untuk mereka yang kesepian dan terasing, di rumahnya sendiri. Bagaimana jika keterasingan dan kesendirian adalah kemegahan sebab kita tak harus takluk pada apapun, bahkan pada cinta. Kautahu, Sayangku, penaklukkan pertama bermula dari kata: aku mencintaimu.

1
Kuil Yazhou Ancient City

Dalam diam, saya memandang berdebar pada argo taksi. Angka itu sudah di atas 100 Yuan, saya menunggu jika mendekati angka 150, maka saya putuskan untuk balik. Ini perjalanan nekat. Uang di dompet hanya 320 Yuan + Rp 2 juta rupiah (ini tidak laku). Tak ada money changer di kota Sanya, Provinsi Hainan. Di hotel tempat saya menginap ada, tapi hanya menerima dolar Amerika. Saya harusnya tak mengeluarkan uang bila ikut acara panitia. Semua ditanggung, kecuali ya kelayapan “tidak jelas” di luar jadwal. Hanya, hari ke-3 ini ada jadwal kosong.

Yazhou Anchient City, demikian sebaris kalimat yang tertera di buku manual hotel. Hanya judul itu yang ditulis dengan huruf latin, sisanya huruf Cina, pun tentu bahasanya. Saya sudah mencoba tanya ke resepsionis tentang tempat itu. Hasilnya hanya keringat dingin di udara yang dingin. Dia menjelaskan panjang lebar tanpa satu kata pun saya pahami lalu saya akhiri saja dengan mengucapkan, matur nuwun, Mbakyu dengan senyum sangat lebar. Dia puas, saya pening.  Dalam hati saya merutuki Mao Zedong. Inikah warisanmu? Engkau telah menciptakan sebuah negeri yang mirip diari, negeri yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri. Tak hanya itu, internet di hotel ini pun mengajak sabar, sehingga tidak ada informasi yang bisa saya dapatkan selain bahwa tempat yang saya tuju jaraknya 45km, perhitungan saya, jarak Klaten-Solo.

2
Lorong-lorong tua yang berbatas dengan kekinian, negeri yang dibangun dengan pondasi komunis dan tumbuh menjadi kapitalis yang kokoh.

Demikianlah, jangan tanya bagaimana bahasa tubuh yang habis-habisan pada sopir taksi untuk menjelaskan kota tua ini. Untunglah, saya menemukan sopir taksi muda dan berwajah Lee Min Ho eh (bukan Mas Leo). Setidaknya, ia cukup bersabar dan tak menyerah dengan “tantangan” ini.

Di angka 142 Yuan, taksi oranye itu keluar dari tol (hampir semua jalanan yang saya lalui berupa jalan tol, yang ini akan menjadi “keajaiban” babak kedua setelah pulangnya saya naik bus), menyusuri Yachen Road. Saya kembali mulai was-was dan mulai tanpa tedeng aling-aling. Wajah Mao di uang merah dompet saya, saya keluarkan semua. Isyarat bahwa uang saya hanya segitu dan saya harus balik dengan uang itu. Si Lee Min Ho ini tersenyum sambil mengacungkan jempol. Saya anggap, artinya beres.

Taksi berhenti di angka 152 Yuan, di depan sebuah tembok tinggi warna putih. Si Lee menunjukkan bangunan itu, tanda sudah sampai. Saya menunjukkan angka di argo,  Lee membulatkan jadi 150 saja. Saya menyodorkan tambahan lagi, ia menggerakkan tangan tanda menolak. Bagaimanapun, saya berterima kasih. Saya sempatkan memotret taksinya, hanya untuk mengantisipasi nanti jika saya ingin pesan taksi, cukup menunjukkan mobil warna oranye, komunikasi teratasi.

Di depan bangunan itu saya berdiri, bayangan saya tentang “kota” lenyap. Kok “hanya” klenteng? Kalau seperti ini, apa bedanya dengan Petak Sembilan? Ya, tentu saja bedanya, saya harus menempuh 8 jam penerbangan demi melihat ini. Satu lagi, di sini saya tak bisa cocot kencono, semua takkan ada yang paham. Tapi tidakkah itu hebat? Kita bisa memaki, ngomong jorok, asal wajah kita senyum, tidak ada orang marah. Iya tidak?

Tanah Para Peziarah

Usai  Lee Min Ho (sungguh) itu meninggal saya di depan tembok besar berwarna putih, udara dingin dengan suhu di bawah 15 derajad celcius menyusup di balik kaus yang saya kenakan, sok-sokan tanpa jaket. Hasilnya katisen akut.

4
Saya selalu terpikat dengan seseorang yang tenggelam dalam dunianya.

Saya sebetulnya mau protes pada sopir taksi itu, sebab bukan ini bayangan saya tentang “kota kuno”. Barangkali dia salah menurunkan saya. Kalau “hanya” seperti ini, di Petak Sembilan juga ada.  Selintas kemudian ingat Pak Andi Widjaja yang mengantarkan saya ke Pelabuhan Belawan dan saya tidak terima, ketika pelabuhan itu isinya peti kemas, tidak romantis seperti lagunya Tommy J Pisa. Tapi jangan-jangan, memang ini yang disebut Ancient City versi mereka. Apalagi saya tak bisa menjelaskan dan akan menjadi drama ala Charlie Caplin lagi. Akhirnya saya pasrah. Saya melangkah kuil itu.

Senyap. Beberapa orang saja yang datang, kebanyakan sudah sepuh, setidaknya dari wajah. Saya hanya tersenyum membalas sapaan mereka (yang gigih mengajak bicara) sementara saya sudah malas bertanya sambil dalam hati merutuki Mao Zedong untuk ke sekian kali. Inikah warisanmu? Engkau telah menciptakan sebuah negeri yang mirip diari, negeri yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri. Semoga damai dan maafkan saya, Tuan Mao.

Saya meletakkan tas saya di salah satu undak-undakan, memerhatikan orang-orang yang berkunjung. Entah, tiba-tiba saja malas sekali memotret. Ingin duduk saja, sambil membaca cerpennya SGA, Melodrama di Negeri Komunis.

“Aku tidak mengerti kenapa aku datang. Apalah bisa mengerti, tentang seseorang yang tidak bisa mengerti? Adakah yang bisa dimaklumi di luar kesadaran. Jika memotret saja tidak cukup, apalagi yang bisa dilakukan seorang tukang potret?” (Melodrama Negeri Komunis-SGA, 2002).

Buku ini menyertai saya di banyak perjalanan, dan yang paling tak masuk akal adalah di perjalanan kali ini. Gara-gara buku ini, saya menuju kota ini. Hanya untuk menyapa lebih dalam negeri komunis ini, meski tanpa kompas. Ternyata saya bahagia meski saya tak tahu kenapa. Hanya duduk saja (bahkan mulai kedinginan, karena saya hanya mengenakan kaus turtle neck), bahkan memotret pun tidak banyak.

“Harus ada alasan yang kuat untuk memotret sesuatu maupun tidak memotret sesuatu, dan tentu juga ada alasan kuat untuk membuatku menembus tirai nilai,” tulis di cerpen itu. Mungkin kalimat ini yang sekian lama menjadi pertanyaan personal. Dan di kuil ini, saya menemukan diri saya sendiri, bisa bahagia dalam keterasingan.

Satu hal yang saya suka dengan tempat ini, tak ada orang yang sibuk dengan HP untuk selfie. Mereka betul-betul datang untuk berdoa atau menyapa dinding lampau ini. Bercakap lirih dengan teman perjalanan seakan tak ingin mengusik ketenangan kota tua, The Home of Anchestors. Mereka juga membawa HP tetapi terlihat tak ingin disibukkan dengan itu.

Seorang laki-laki mengenakan coat abu-abu menuntun anjing pudel warna putih. Dua perempuan terkagum-kagum dengan kura-kura brasil yang ada di kolam pelataran kuil itu. Seorang perempuan, usianya mungkin di atas 60 tahun, berjalan tertatih. Untuk melangkah saja ia sudah susah. Perempuan lebih muda yang menemani mencoba menawarkan membawakan hio-nya, tapi perempuan tua itu menolak. Begitulah, sampai di tempat sembahyang, ia berdoa dengan khusyuk. Ia berdiri dengan kaki gemetar. Kekhusyukan doa itu memesona.

Tak jauh dari saya duduk, seorang perempuan yang rupanya adalah volunter (tertulis di bangku) sedang tenggelam dalam dunianya: kristik. Ia membuat gambar kuda berwarna biru. Ia menyodorkan brosur ke saya sambil berkata dengan ramah. Kalau tidak salah, dia menjelaskan tentang kuil ini. Saya tersenyum, terima kasih, dan tidak lagi bertanya. Sebab (sekali lagi), saya merutuki Mao.

Saya suka memerhatikan perempuan ini menyempurnakan bentuk kuda birunya itu. Kekhusyukan dengan kadar dan karat yang sama dengan doa si perempuan itu. Saya rasakan demikian. Bukankah setiap doa adalah merajut harapan?

Saya buka brosur warna oranye itu, harapan saya, saya menemukan sesuatu. Kemudian mau tak mau tawa saya lepas juga. Kali ini tidak dalam hati.  Brosur ini seperti slolilukoi, ditulis dalam bahasa dan huruf Cina. Mao!

5
Sebuah negeri yang setiap sudutnya adalah keringat warganya, bekerja keras, dan tidak sibuk berharap pada negara apalagi menyalahkan.

Yazhou Ancient City, sebuah kota yang dindingnya dibangun dari campuran tanah dan rumput pada masa Dinasti Qin (221-206 SM). Kini, yang tersisa adalah dinding-dinding renta berbahan batu bata putih yang dibangun  pada masa Dinasti Nan Song (1127-1297). Sayang, saya tidak sampai pada reruntuhan ini, sebab tak tahu arahnya dan tak ada tempat bertanya. Dahulu, Yazhou menjadi pusat ekonomi dan politik Hainan bagian Selatan. Yazhou juga menjadi pusat buah dan sayur. Uniknya, diceritakan bahwa menjadi tempat transisi buah barat dan timur.

Sampai kemudian tahun 1954, pusat administrasi dipindah ke kota para pemancing, Sanya (tempat saya menginap). Kini, Yazhou bernama Yachen. Tak jauh dari kuil itu, saya menemukan pasar itu kuno itu yang kini sudah menjadi pasar modern. Yachen Zhongxin Famers Market sebuah tempat yang menyegarkan, dengan sayuran dan buah segar langsung dari petani.

Di sini, saya bertemu dengan laki-laki tua pemilik toko tembakau. Ketika saya cium tembakau itu, aromanya masih kalah jauh dengan tembakau Sindoro yang aromanya lekat itu. Ia menghisap tembakau dengan bambu sepanjang 1,5m. Cara merokok yang eksotis, sayang dia tidak mau difoto. Saya menghormatinya mengalahkan keinginan saya.

3
Yachen Zhongxin Famers Market. Di sini saya makan, berupaya dengan body language untuk memesan hidangan yang bukan babi. Disambut dengan senyum tanda mengerti. Saya bahagia, baru kali ini dimengerti dan di sini cukup murah. Dua puluh menit kemudian, keluarlah hidangan itu, paha babi yang lebih besar dari bayangan saya. Bagaimana peternak di sini bisa menghasilkan paha babi sebesar itu sementara sungguh saya sudah nyaris pingsan karena kelaparan di udara yang dingin. Akhirnya, saya memilih menjadi herbivora, mengganjal perut dengan 1/2 kg tomat dan 1/2 cherry fresh.

Saya menikmati obrolannya meski saya tak paham. Ia memegang tangan saya yang sudah menggigil dan ingin tahu. Saya tunjukkan paspor saya untuk mengatakan saya dari Indonesia, dia tidak tahu negeri ini. Saya tunjukkan ID China (Sanya) World Orchids Show 2018, dia baru mengangguk dan bahagia. Dia paham karena di ID itu ada sebaris huruf Cinanya. Mao!

Sejarah sosial politik Cina bukanlah sejarah kemenangan kaum bermodal. Pada tahun 180 SM, Kaisar Wu Ti melakukan apa yang dilakukan Mao. Sang Kaisar pembangun perpustakaan dengan 1318 jilid buku pada zaman itu. Banyak penulis dan sastrawan lahir dari negeri ini, termasuk dari Yazhou.

Pun Mao sangat menyukai puisi selain dia ahli strategi perang dan politik. Dan ternyata bagi saya, “puisi monolog” negerinya ini lah yang paling memesona. Ia menyusun bait dan diksinya sendiri. Jika dunia ingin memahami bahasanya, maka tak perlu mereka bersusah untuk menerjemahkan untuk dunia karena dunia pasti butuh mereka. Bahkan di negeri komunis ini, kapital dunia berhulu dari sana. Cina bukan lagi negeri sastrawan tetapi negeri para pemodal.

Sanya, 10 Januari 2018

6
Ini cara saya pulang dengan bus umum, sebab taksi tidak ada. Seorang ibu dengan bahasa Inggris patah-patah membantu saya untuk naik bus no 58, turun di salah satu deretan huruf itu. Saya tandai, lalu saya tunjukkan ke sopir bus, baru nyambung dengan bus berikutnya. Apakah berhasil? Nyaris. Sebab saya kemudian memutari hampir separuh kota Sanya dengan beberapa bus sampai akhirnya menemukan hotel. Menyesal? Tidak juga, hanya perjalanan yang mestinya setengah hari sampai, ini sampai menjelang malam. Kenapa tidak pakai Google translate? Inilah salah satu ide tidak masuk akal tapi saya bahagia melakukan, saya memang mematikan internet selain internet juga susah di kota ini. 

Catatan:
Untuk Pak Rudy T Mintarto, terima kasih mengajak saya ke perjalanan ini. Untuk Elizabeth Stephany dan Rebecca Putri, terima kasih menjadi teman perjalanan yang menyenangkan dan untuk pertama kalinya saya minum red wine (kamu tidak percaya, kan? ). Dan soal appetizer yang kukira jamur tapi ternyata telinga babi itu, ya sudahlah…

Untuk Mas Seno Gumira Ajidarma, saya mencatat tentang kesepian yang indah dan catatanmu menemani saya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *