
Aku bukan orang laut dan tak begitu suka dengan laut. Tapi kali ini, aku menemukan laut yang bercerita, laut yang beraroma hasrat. Laut yang kemudian menelan kisahmu. Benarkah laut yang melahirkanmu bisa setega itu untuk melenyapkanmu?Aku dan orang-orang yang menyayangimu mencari jawab.
Aku, yang bukan orang laut, kemudian menjelajah laut tanpa bisa membaca peta gelombang. Demi menemukanmu. Paling tidak, mencari kejelasan tentang dirimu. Mungkin aku akan tenggelam. Mungkin juga akan hilang. Sepertimu. Atau, berharap, kembali merengkuhmu.
***
Aukai. Namamu itu. Katamu artinya laut. Laut itu. Dunia asing yang tak pernah kuingin untuk ada di dalamnya. Aku orang gunung, yang tak suka laut. Bagiku, laut adalah sesuatu yang membahayakan. Karena aku tak mengenalnya sejak kecil. Tapi suatu hari, aku begitu iri padamu, Kai. Tepatnya iri pada masa kecilmu yang kerap engkau ceritakan padaku. Bahwa setiap hari, kamu bisa mandi di laut. Laut adalah kawan berkelakar. Laut adalah asal.
Tentu laut yang bukan laut monokrom seperti di pantai rekreasi yang terpolusi. Tapi laut masa kecilmu itu, laut yang penuh warna. Aku pernah membantah. Tidak ada laut yang penuh warna. Laut selalu hanya keruh seperti di pantai yang terpolusi. Kalau pun ada, warnanya juga hanya biru laut seperti yang tertulis di pensil warna. Blue ocean. Hanya satu warna itu.
Kamu tak setuju. Katamu, aku tidak tahu warna pensil warna. ‘Tapi yang kutahu, laut dalam ingatanku bisa berlapis warna’. Dari pinggir pantai, pasir berwarna putih warnanya. Putih seperti warna gigiku. Lalu ada warna jernih, warna air yang biru teramat muda, biru muda, biru, dan biru yang begitu tua. Biru gelap, tanda bahwa laut itu dalam tak terusik. Permukaannya yang tenang, tapi melenyapkan. Termasuk, apakah juga menelanmu? Kamu hilang di laut, atau dilenyapkan di laut? Atau melebur di tanahmu, tanah yang sudah bersenggama dengan laut? Aku mencari jawab di perjalanan tanpa peta itu.
***
Perjalanan ini berawal dari telepon, SMS, pesan di media sosial, dan segala cara berkomunikasi yang akhirnya tak pernah kaubalas. Perjalanan pertama mengunjungi kotamu, setelah berkali-kali kita janjian tapi belum menemukan waktu yang cocok. Saat aku punya waktu luang, kamu malah ada di Jakarta atau kota lain. Bulan ini, kamu sudah janji akan menemaniku, melihat tanahmu. Menyaksikan orang-orang Tanah Biru membuat phinisi.
Saat aku butuh kepastian tanggal untuk memesan tiket, pesanku belum juga kaubalas. Bukan hal baru sebetulnya, jika kamu tak membalas. Sejak kamu pulang ke kampung halamanmu, SMS ke kamu seperti surat dengan perangko biasa. Bisa satu minggu baru kamu balas. Tapi tetap membalas. Hanya, kali ini, sudah lebih dari dua bulan, tak ada jawaban. Sampai kemudian, aku beranikan untuk menelepon ke telepon rumahmu, senja itu. Senja, selalu saja senja yang menghubungkanku denganmu.
“Halo,” sapanya di seberang sana. Suara yang begitu kukenal, dan menjadikan senjaku menyala.
“Kai?!” jawabku sambil melonjak girang sekaligus kesal. Kamu ada, kenapa tidak membalas pesanku.
“Bukan. Saya Rae. Adiknya Kai,” jawab di ujung sana. Rutukku lenyap.
“Oh, Rae. Kai pernah bercerita tentangmu. Bisa bicara dengan Kai?.”
“Kai.. hilang.”
“Hilang di mana?” Nadaku meninggi. Firasatku langsung tak enak, tapi aku masih berharap ia bercanda.
“Kalau tahu hilang di mana, namanya bukan hilang.”
Gelap. Malam mendadak lebih cepat datang mengusir senja. Beberapa saat aku kehilangan kata-kata.
“Terakhir terlihat di mana?” suaraku serak dan kehilangan tenaga.
“Di laut..”
Terdengar nada bicaranya datar. Bagaimana bisa mengabarkan kakaknya hilang di laut dengan setenang itu, sementara aku di sini begitu panik.Tak sadar aku nyaris membentaknya,“Di laut?!”
“Ya, di laut. Ada yang salah? “
“Tidak mungkin dia hilang di laut,” bantahku.
“Kenapa tidak mungkin?” Nada bicaranya masih tenang, seperti menceritakan ayam yang tidak kembali ke kandang, suatu sore, seakan tanpa kesedihan.
“Karena dia dilahirkan oleh laut.” Itu yang kerap engkau katakan padaku, Kai? Bagaimana laut yang melahirkanmu seperti seorang ibu. Bagaimana tega melenyapkanmu?
“Perlu Mbak ketahui, pelaut hilang di laut bukan hal aneh. Sering terjadi itu… Terkadang jenazahnya kembali, kadang tidak. Resiko orang melaut.”
“Kai hilang begitu saja?”
“Begini.Kalau yang Mbak maksud mencari, yah.. nelayan itu seperti kampung kecil. Apapun kejadian semua orang tahu. Jadi kalau ada yang menemukan jasad pasti tahu itu orang kita apa bukan.”
“Sudah melibatkan pihak SAR misalnya?”
“Mengerahkan SAR? Sudah kubilang ini kampung kecil, Mbak…”
“Tapi ini manusia yang hilang, kakakmu kan?!” Aku mulai emosi oleh kepanikan.
“Aku sudah katakan, tiap hari bisa saja orang hilang di sini. Ini lautan. Kami terus melaut, mencari sepanjang pantai. Apa karena yang hilang kakakku, atau orang istimewa bagi Mbak, lalu pencarian mesti berbeda? Kecuali yang hilang orang penting atau terkenal.”
Aku belum puas. Aku diam, bukan karena setuju pendapatnya. Ia seperti menganggap enteng orang hilang. Sesuatu yang lumrah. Bahkan kakaknya sendiri. Tapi sudahlah, bukannya orang ini mau mengabariku tentang kehilangan kakaknya, kenapa aku malah memarahinya? Aku masih yakin Kai masih hidup.
Ia menyebut Kai orang istimewa bagiku? Kekasihku? Benarkah engkau kekasihku, Kai? Pertanyaan yang sama tak terjawabnya dengan keberadaanmu. Hilang. Kamu hilang, itu sebab mengapa engkau tak menjawab surat-suratku.
“Halo, Mbak masih di sana?”
“Ya.”
“Ada yang mau ditanyakan lagi?”
“Nggak.”
“Saya sedih nasib Kai. Tapi sambil terus cari kabar saya juga bekerja. Ini mau Appasilli. Ada baiknya kita bicara langsung kalau masih ada yang ingin diketahui.”
“Mau apa? Apesili?”
“Upacara Appasili. Laut lagi bagus. Mungkin Mbak ada waktu kah?”
“Oke. Nanti aku kabari. Terima kasih informasinya.”
Klik. Percakapan berjarak ribuan mil diputus. Pijakanku goyah dan duniaku berputar. Tiba-tiba aku merasa sangat kehilangan. Hanya setelah kamu dinyatakan hilang. Kehilangan yang rumit, karena aku tak merasa pernah memiliki. Tapi bukankah untuk merasa kehilangan, tidak harus memiliki? Sesuatu yang biasanya selalu ada, yang tak pernah kita perhatikan sekalipun, bahkan yang tak pernah kita harapkan kehadiran, bila kemudian tak hadir, maka kita merasa ada yang tak lengkap. Ada yang hilang. Lebih dari itu, benarkah engkau orang istimewa atau kekasihku seperti kata adikmu?
Aku masih menyimpan hangatnya telapak tanganmu ketika memegang punggung tanganku.
Lalu kauletakkan jemari ini di dadamu.
Ada simfoni teraba di sana.
Konser agung suara hati.
Nada minor yang samar terdengar.
Mengiris sekaligus membebaskan, menyedihkan sekaligus membahagiakan.
Menjadi notasi dari sebagian syairmu.
Ah, ingin rasanya berdiam di sana, selama aku bisa.
Merengkuh sekeping hatimu menjadi bagian dari semestaku.
Layakkah aku diam-diam menyebutmu sebagai kekasihku ?
Tanpa atau dengan pengakuanmu, pengakuan mereka.
Bahkan pengakuan tanahmu?
(Bersambung)