Mereka yang Bergantung pada Matahari (INTISARI, Juni 2017)

Nun jauh di pulau-pulau yang hanya menyisakan koordinat, matahari (sel surya) menjadi sumber energi untuk memberi nada dari radio dan televisi yang menyala. Untuk mengubah gulita menjadi cahaya di pulau yang mengapung di perairan Indonesia.

Blog 1
Air bersih yang didapatkan dari desalinasi air laur dengan sel surya di Balikkukup, Kalimantan Timur

Ketika mengunjungi pulau-pulau kecil dan terluar Indonesia wilayah kerja Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, kerap kali kita terasa ada di luar NKRI. Hanya suar dan bendera merah putih yang kerap kali berkibar sebagai tanda bahwa wilayah itu masih dalam rengkuhan NKRI. Suar yang berkelip-kelip tak henti, sendirian, di pulau yang hanya dijaga oleh penjaga suar itu, berjasa sebagai tanda kapal dan perahu yang melintas agar tidak menabrak pulau.

Kebanyakan lampu mercu suar itu dinyalakan dengan energi sel surya yang dipasang di atas menara. Sementara rumah penjaga sendiri terkadang juga mengandalkan sel surya maupun diesel. Kisah penggunaan sel surya ini bisa kita temui di banyak pulau di Indonesia.

Pulau itu mengapung di laut lepas. Dari jauh terlihat jajaran rumah panggung yang menempel di pinggiran pulau kecil yang bisa kita capai sekitar 2 jam perjalanan dengan speedboat dari gemerlap  kota Bontang, Kalimantan Timur.

Tihik Tihik, demikian papan nama yang tertulis di dermaga sebagai ucapan selamat datang. Sebuah pulau yang bersahaja beraroma rumput laut, komoditi andalan pulau itu. Kontras sekali dengan Bontang, pulau ini harus berhitung untuk sekadar menyalakan lampu beberapa watt saja.

blog2
Instalasi sel surya yang terawat bagus di salah satu pulau, Kalimantan Timur

Mendapatkan Cahaya Setelah 30 Tahun Menunggu

Lebih dari 300 orang atau sekitar 74 kepala keluarga mendiami Tihik Tihik, Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang . Hampir semua merupakan perantauan dari Mamuju. Mereka menempuh perjalanan jauh, menghadang ombak demi mendapatkan tempat tinggal dan kehidupan yang lebih baik.

Bila dilihat dari lingkungan fisik, usai menempuh jarak merantau yang begitu jauh, taraf hidup mereka belumlah cukup. Apalagi di pulau ini air tawar susah didapatkan. Mereka harus membeli air 30 liter dengan harga Rp10.000 dari Bontang.

“Kalau di tempat asalnya, lebih buruk dari sini lah. Paling tidak kita masih bisa makan,” kata Indra Gunawan, tokoh masyarakat di Pulau Tihik Tihik. Perantauan dari Kuningan, Jawa Barat ini memasang foto Madinah di dinding ruang tamu sederhananya. Ada harapan tersemat, kelak dari Tihik-Tihik bisa mengunjungi kota suci itu.

Di antara kerasnya bertahan hidup, untunglah listrik bisa didapatkan dari sel surya dengan biaya yang tidak terlalu tinggi. Dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), lampu bisa menyala bergantian antara sel surya dengan diesel. “Kalau malam hanya lampu saja,” kata Indra.

Bila siang, televisi dengan parabola yang berjajar di kanan kiri jalan bisa menyiarkan berita dan hiburan. Juga tape yang memutar lagu dangdut dan Malaysia menjadi hiburan di siang yang lelah usai melaut di Pulau Tihik Tihik. Pulau yang diberi nama dari nama hewan (bulu babi) dalam Bahasa Mamuju.

PLTS komunal dibangun oleh Pemkot Bontang untuk memenuhi kebutuhan listrik, tak hanya di darat tetapi juga di pulau-pulau kecil di Kota Bontang. Tahun 2014 dibangun 2 PLTS komunal untuk mencukupi kebutuhan listrik di masyarakat pesisir yaitu Kampung Selangan, Bontang Lestari, dan Kampung Melahing, Tanjung Laut Indah.

Masing-masing PLTS ini berdaya 15 kilowatt peak (kwp). Bulan Maret 2015, dibangun PLTS komunal yang ke-3 untuk memenuhi kebutuhan listrik di Kampung Tihik Tihik, dan Lok Tunggul di Bontang Lestari dan Pulau Gusung di Guntung. PLTS komunal yang dibangun dengan biaya Rp12.2 miliar ini mampu memberikan daya listrik sebesar 400 watt per rumah. PLTS ke-3 ini mampu menerangi rumah 40 Kepala Keluarga setelah 30 tahun tinggal di Pulau Gusung belum pernah mendapatkan aliran listrik.

Hidup dari Rumput Laut

Pulau Gusung, Kelurahan Guntung, Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang, kondisinya tak jauh beda dengan Tihik Tihik walau lokasinya lebih dekat dengan pusat kota Bontang. Hanya sekitar 30 menit dengan menggunakan ketinting.

Hamparan rumput laut warna-warni memenuhi dermaga ketika perahu tertambat. Jajaran rumah sederhana berdinding papan kita temukan di Pulau Gusung. Kebutuhan listrik dipenuhi dari PLTS yang didirikan pemerintah Kota Bontang. Listrik dari tenaga surya ini cukup untuk melayani kebutuhan warga, khususnya untuk lampu dan televisi. Kebanyakan mereka hanya memiliki sedikit benda elektronik di rumah-rumah sederhana Pulau Gusung.

“Pulau ini termasuk pulau buatan. Mulai dibangun tahun 1979 sejak ada Pupuk Kaltim,” kata Udin Zainudin, Ketua RT Pulau Gusung. Udin dan juga kebanyakan warga Pulau Gusung merupakan perantau dari Sulawesi.

Masuknya listrik menjadikan pulau itu punya nada. Mereka bisa menyalakan televisi dan radio. Sedangkan untuk keperluan produksi, belum tampak penggunaan listrik  untuk alat produksi selain hanya untuk penerangan yang bekerja sampai malam. Sebagian besar penduduk di sini bertanam rumput laut dan juga membuat terasi. Belum ada alat-alat yang digerakkan oleh listrik untuk berproduksi.

Air bersih hingga landasan pacu pesawat

Bagi orang-orang yang terbiasa melakukan perjalanan, umumnya pulau-pulau kecil di sebagian besar wilayah Indonesia memiliki permasalahan yang sama. Yakni, akses, air bersih (air tawar), dan energi listrik.

Ketika memasukki Pulau Balikkukup, Kecamatan Batu Putih, Berau, Kalimantan Timur, dua anak laki-laki sedang mandi sambil bermain air di belakang rumah. Dua tandon air berwarna oranye tampak sedang penuh.

Sama halnya dengan pulau-pulau lain, sumber air di Balaikkukup merupakan air asin bila tak ada hujan. Masyarakat memanen air hujan (rain harvesting) untuk mencukupi kebutuhan air tawar dan juga dari PDAM.

Akan tetapi bila musim kering, maka mereka mengandalkan instalasi pengolahan air laut yang dikelola oleh masyarakat dengan kapasitas 1.000 galon/bulan. Masyarakat membeli dengan harga Rp6.000 per galon. Instalasi ini disuplai dengan energi listrik dari sel surya yang dibangun di samping instalasi.

Menurut Harun, instalasi sel surya relatif terawat bagus. Pun tidak pernah ada masalah, terutama soal baterai yang menyimpan daya. Jadi jika memang keadaan mendung, maka sel surya tetap bisa menyuplai listrik dari energi yang tersimpan, demikian prinsip kerjanya.

Keberadaan energi surya ini tak hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Rencananya juga untuk mencukupi penerangan listrik di landas pacu pesawat.

Sel Surya Menerangi Bandara

Kampung Payung-Payung, demikian masyarakat Pulau Maratua, Kabupaten Berau menyebutnya. Kampung ini terletak di ujung timur Kepulauan Maratua. Dari dermaga, sekitar 20 menit menggunakan sepeda motor, maka kita sampai di sini.

Sebuah pemandangan yang indah ketika kita bisa melihat penyu sisik berenang di kaki kita. Demikian masyarakat Maratua menjaga alam sehingga masih memungkinkan satwa liar hidup.

Yang tak kalah menarik, jembatan Teluk Pea yang panjang juga bisa menjadi pemandangan unik. Teluk yang ditumbuhi dengan pohon bakau. Di sela-sela pohon in terdapat air berwarna hijau jernih yang bisa dilalui speedboat.

Jembatan ini membawa kita ke pembangkit listrik tenaga surya dan bandara yang sedang dibangun. Bandara ini selesai secara fisik pada Desember 2016, mampu menampung pesawat dari Tanjung Redeb dengan runaway sepanjang 1.200 m dengan lebar 30 m. Peresmiannya direncanakan pada tahun 2017 ini. Yang menarik, penerangan untuk fasilitas darat keseluruhannya menggunakan sel surya.

Kisah di atas adalah keberhasilan sel surya menjawab kebutuhan listrik khususnya di pulau-pulau terluar Indonesia. Tetapi tak jarang, instalasi itu mangkrak ketika tidak ada perawatan. Misalnya karena sumber daya manusianya tidak bisa merawat, atau terkadang suku cadang rusak dan tak ada gantinya.

Akan tetapi secara keseluruhan merupakan kisah sukses pemenuhan kebutuhan akan listrik. Sejauh ini masih merupakan energi alternatif ketika tak terjangkau oleh PLTA maupun PLTU. Mengingat Indonesia yang disinari matahari sepanjang tahun, energi matahari merupakan energi masa depan yang bisa menjadi harapan.

 Teks/Foto: Titik Kartitiani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *