oleh Cok Sawitri
Tentang perempuan realitasnya adalah tukang jahit, lalu menjadi “hiper realitas” ketika diyakini akan membawa pertanda mengenai hujan. Dengan praktis simbol itu dituliskan dalam alur yang mudah diterka sebenarnya. Namun bukan pada kata ‘menjahit hujan” letaknya.
Titik Kartitiani, nama ini jika ditulis dapat berbeda makna dengan ketika diucapkan. Begitu pula ketika membaca judul “Perempuan Menjahit Hujan”—kumpulan cerpen dengan isi 16 Cerpen, diterbitkan dengan ISBN dan diberi pengantar Seno Gumira Ajidarma. Artinya kumpulan cerpen ini harus serius dibaca jika dari nama sang pemberi pengantar. Namun dalam Kritik “praksis” ini saya justru melupakan isi kata pengantar itu. Saya hanya membaca dengan serius pada “ 4” (baca: empat) cerpennya, yang lainnya saya baca utuh namun tidak berulangkali.
“Hujan” sebagai mikro-teks (si penulis pasti tahu, saya sedang berusaha seserius para kritikus sastra), kata ini dalam 4 cerpen yang saya baca dengan serius tidak lagi bermakna ‘hujan’ sebagaimana hujan dalam pengertian umum. Karena itu hujan sebagai mikro-teks dalam cerpen “Gadis Kecil yang Menanam Gerimis”– menjadi pembuktian bahwa BMKG dan Pawang hujan tidak dapat memaksa makna “hujan’ seperti yang dipahami seperti umumnya.Begitu pula sistem bahasa, tidak dapat memaksa untuk taat pada pengertian ‘hujan’.