A cup of java, sebutan untuk kopi yang mendunia. Berawal dari tahun 1893, World’s Columbian Exhibition, Chicago, di stan Java Village ketika pengunjung berseru “a cup of java” untuk kopi arabika yang ditanam di Jawa oleh Belanda. Saya mengunjungi tempat kopi jawa itu berasal, 2 abad kemudian.
Dua cangkir kopi tubruk terhidang. Uap panas mengantarkan aroma buah dan bunga menjadi satu, berbaur dengan aroma hujan yang menerobos jendela Jampit Guest House. “Rasanya memang asam, itu khas arabika,” kata Asnanto Budiono, staf produksi PTPN XII. Begitu diseruput, rasanya kental di mulut, lembut, dan pahit khas kopi arabika. Kopi inilah yang membangun peradaban di Blawan, Jampit, Pancoer, dan Kayumas. Empat kebun milik PTPN XII yang menghasilkan kopi arabika sejak Belanda membangunnya tahun 1800-an hingga kini.
Termasuk Jampit Guest House yang dibangun pada tahun 1927, masih terawat. Ada 4 kamar yang bisa disewa, satu rumah bisa menampung 20 orang. Dahulu rumah administrator Belanda pengelola kebun kopi di Dusun Blawan, Kecamatan Sempol, Kabupaten Bondowoso. Belanda mengawali menanam kopi di Blawan. Kemudian meluas ke Jampit, ternyata kopi Arabika lebih jatuh cinta pada tanah Jampit. Di sana, berbuah lebih lebat. Dusun ini bisa ditempuh 5-6 jam dari Surabaya. Sudah banyak biro perjalanan yang menyediakan paket ke Jampit, biasanya dengan Ijen.
Dusun Jampit berada kira-kira 14 KM dari guest house ini. “Di Jampit sekarang yang menjadi pusat pemrosesan kopi,” kata Asnanto. Jalan berkelok, berbatu, membelah kebun kopi kami lintasi dengan mobil. Sebelum sampai Jampit, kami sempat mampir ke Kawah Wurung, salah satu ikon wisata di sekitar Ijen. “Wurung” dalam bahasa Jawa artinya batal, jadi batal menjadi kawah. Lanskap perbukitan ini mirip dengan Bromo, hanya tak berasap dan dominan hijau. Senyap disuguhkan oleh kawah ini, selain sapi-sapi yang merumput di kejauhan. Bagi saya yang mengejutkan adalah ketika melihat Drosera peltata menyembul di kaki saya. Salah satu jenis tanaman karnivor yang memikat mangsanya dengan kelembutan embun yang menempel di daunnya, tumbuh di Jawa hingga NTT.
“Puncak musim panen pada bulan Juli-Agustus,” kata Asnanto. Jampit tak pernah lelap pada bulan panen. Mulai dari petik kopi, memilah peaberry (buah kopi yang merah), mengangkut ke tempat pengolahan. Di Jampit, kopi diolah dengan sistem basah yaitu untuk melepas daging buah dengan cara direndam dalam air. Semua itu bisa disaksikan oleh wisatawan yang berkunjung. Menurut Asnanto, satu orang pun tetap akan dilayani oleh petugas karena agrowisata tur kopi merupakan program dari PTPN XII. Mulai dari petik kopi hingga kopi berbentuk green bean (biji kopi yang belum disangrai) dan siap dikirim ke berbagai negara. Di Arabica Homestay, tempat saya menginap, terpampang nama-nama perusahaan tujuan perjalanan green bean ini. Amerika, Australia, Belanda, dan juga beberapa perusahaan di Indonesia. Bahan bisa sama, tetapi perbedaan pengolahan, terutama roasting, akan menentukan cita rasa kopi.
PTPN XII hanya menjual green bean. “Tapi pengunjung sering menanyakan kopi yang sudah di-roasting untuk oleh-oleh. Ada anak perusahaan yang mengolahnya,” tambah Asnanto sambil menunjukkan kemasan kopi bubuk dengan merek Rollas. Keesokan paginya, saya menikmati kopi jawa itu lagi. Kali ini disajikan di kafe Arabica, bagian belakang penginapan. Menghadap panorama Ijen, saya menikmati sarapan. Tak seramai makan malam, karena kebanyakan Arabica Homestay hanya untuk transit sebelum ke Kawah Ijen. Perjalanan ke Kawah Ijen biasanya dilakukan dini hari untuk mendapatkan pemandangan blue fire dan penambang belerang ketika terang tanah.
Pagi itu, ada dua orang wisatawan asal Prancis sedang berbicara tentang kopi. Kebanyakan wisman memang dari Prancis, walau kebun ini kental sekali dengan jejak Belanda. Termasuk bangunan, alat pemroses kopi, dan juga gedung. “Hooler itu masih kita gunakan, buatan Belanda,” kata Asnanto ketika dia membuka buku A Cup of Java yang ditulis Gabriella Teggia dan Mark Hanusz. Dari buku itu saya membaca banyak hal tentang kopi Jawa, di Jampit saya bisa menyentuh dan menyeruput sebuah zaman yang melintasi waktu.
Teks/Foto: Titik Kartitiani