Angkap, laki-laki berusia 49 tahun itu menceritakan legenda ikan kutukan Sungai Janiah bukan sebagai dongeng pengantar tidur. Ia ceritakan sebagaimana ia mengisahkan hidupnya, sebuah kenyataan di masa lalu.

Kota ini dibangun oleh legenda dan juga benda purbakala, 102km sebelah selatan Kota Padang. Bahkan susah membedakan mana benda purbakala, mana yang hanya legenda. Beribukota di Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar dijuluki sebagai Kota Budaya bagi Sumatera Barat. Alasannya, di sini berdiri Istana Basa Pagaruyung, pusat Kerajaan Minangkabau. Tertulis di Prasasti Batu Sangkar dibangun oleh Adityawarman tahun 1347.
Hanya sayang, istana megah ini ludes terbakar tahun 2007. Istana yang terbuat dari kayu habis dilumat api, hanya menyisakan abu dan cerita. Kini, istana tersebut sudah megah kembali berdiri. Dibangun dengan bentuk yang sama persis, walau bahannya sudah jauh berbeda. Saya sempat singgah, masih indah jika difoto, tapi rasanya ada yang hilang.
Selain istana, Batu Sangkar adalah magnet bagi saya karena legendanya. Ragam cerita tentang batu di sini. Batu yang legenda dan batu yang situs sejarah. Walau tak semuanya merupakan jejak Minangkabau, tapi ceritanya terus tumbuh di benak masyarakat.
Sungai Janiah, . 17.36 WIB

Matahari lebih cepat terbenam saat saya sampai di kolam besar itu (mungkin dulunya telaga). Sejak pukul dua siang, mendung sudah menutupi langit sejak siang. Kini, ditambah gerimis yang segera mengubah wajah legenda itu menjadi kian nyata. Paling tidak, kesan itu yang saya tangkap dari Angkap, salah satu penjaga kolam ikan Sungai Janiah. Sebelum saya tanya, ia menyarankan saya untuk membeli pensi (kermis air tawar) untuk memancing ikan keluar. Agar saya bisa melihat ikan yang termasyur itu dan sekaligus menguji kekuatan kamera saya untuk menangkap ikan warna gelap di cahaya minim pula.
Dua bungkus pensi masing-masing seharga Rp 2.000,- dan sebungkus krupuk menjadi umpan. Angkap melempar ke tengah danau. Tidak berapa lama, permukaan hijau yang tadinya hanya terkoyak oleh gerimis, kini beriak lebih besar. Beberapa sirip ikan berbentuk segitiga menyembul ke permukaan, tanpa memperlihatkan bentuk tubuhnya, berpusar membentuk lingkaran. Angkap semangat melempar kerupuk membentuk jalur mendekati kami. Puluhan sirip kemudian bermunculan, mengikuti alur kerupuk hingga kemudian berjarak cukup dekat untuk saya lihat. Ikan itu mirip dengan ikan lele, hanya sirip punggungnya tegak seperti ikan hiu dan berenang berkelompok. Panjangnya sekitar 50cm dengan sisik besar-besar berwarna hitam dan abu-abu. Beberapa ekor ada yang kemerahan.
“Walau ukurannya besar, orang tidak berani memancing di sini. Apalagi memakannya. Dulu, zaman Belanda, ada yang berani mengambil dan memakannya. Lalu ia mendapat kutukan,” kata Angkap memulai kisahnya.
“Orang itu meninggal?”
“Lebih dari meninggal. Mendapat kutukan,” katanya yakin tanpa menjelaskan lebih detail, nasib apa yang lebih mengerikan dari tewas yang disebabkan karena makan ikan.
“Ada seorang janda dengan dua anak laki-laki, tinggal di pinggir danau itu,” kata Angkap sambil membuat garis imajiner, tempat dulu rumah itu (ia yakini) berada. Di seberang danau yang sekarang sudah mulai gelap. Saya melihat ke arah yang ditunjuk. Ada 3 ekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tengah bermain dengan gerimis. Saya memotretnya sambil mendengarkan Angkap bercerita.
Suatu pagi, janda itu berangkat ke ladang. Ia sudah memesan kepada kedua anak laki-lakinya, jangan minum air di danau belakang. Sang ibu sudah menyediakan air minum. Hanya itu larangan sang ibu tanpa memberi penjelasan kepada anaknya, bahwa si ibu sudah punya perjanjian dengan penunggu danau, bahwa keluarga itu tidak akan meminum air danau. Hanya sayang, anaknya yang paling kecil tidak taat mengikuti larangan. Saat kehausan, ia ke pinggir danau, menjulurkan tangannya untuk meraup air dari danau yang bagi mata kecilnya, sangat menggoda rasa hausnya.
Bocah kecil yang belum pintar menjaga keseimbangan itu akhirnya tercebur ke danau. Serta merta si kakak meraih tubuh adiknya, hanya sayang tidak kuat, lantas ikut tercebur ke danau. Kedua anak itu hilang di danau.
Saat sang ibu pulang, ia mendapati gubugnya sudah kosong. Panik, ia mencari ke semua sudut rumah, bahkan masuk ke hutan untuk mencari. Berhari-hari ia mencari, tak mendapat hasil. Sampai suatu malam, saat ia tertidur karena kelelahan, ibu itu bermimpi didatangi kedua anaknya. “Ibu tidak perlu mencari, kami sudah berubah menjadi ikan. Kalau ibu mau ketemu kami, cukup dengan nasi kuning, sebarkan ke danau, lalu kami akan datang,” kata Angkap sungguh-sungguh seakan menceritakan kejadian di depan mata. Begitulah, hingga kini, ritual memberi makan berupa nasi kuning masih dilakukan para pengunjung untuk memanggil ‘bocah kecil’ yang kini sudah beranak pinak menjadi banyak itu.
Lalu saya melihat pensi di tangan saya, kata saya,“Bocah itu rupanya suka pensi juga. Seperti anak-anak Sumatera Barat lainnya.”
“Karena ini sudah sore. Kalau tadi siang, umpannya nasi kuning. Ikannya pun lebih banyak. Bahkan ada yang sebesar kerbau. Saya pernah melihatnya,” kata Angkap yakin. Ia membawa saya ke ingatannya, pada tahun 1975.
Usai Subuh, danau ini setemaram senja kali ini. Kabut dan hanya bayangan samar yang merekam bentuk di sekitar. Angkap baru saja melintasi danau, saat tiba-tiba bayangan berkelebat di ujung pandangan matanya. Ia meyakini seekor ikan besar yang melompat di permukaan danau. Kemunculan yang tiba-tiba dan tidak terulang lagi, puluhan tahun kemudian, hingga ia menceritakan kisah itu kepada banyak orang, termasuk saya salah satunya. Sama tidak terulangnya dengan kehadiran ikan ini yang begitu saja di tahun 1969. Tahun itu, katanya kemarau panjang melanda Batu Sangkar. Danau ini kering, ikan-ikan mati semua. Tapi saat danau tergenang, maka ikan kutukan itu hadir dengan sendirinya, dan besarnya pun (tiba-tiba) sebesar sekarang. Saya melihat, ikan-ikan itu satu per satu menghilang di kehijauan danau yang mulai gelap saat pensi di tangan saya sudah habis.
Gerimis belum tiris, saat saya melewati salah satu deretan warung yang menjajakan makanan kecil. Di salah satu warung, ada anak laki-laki usia 10 tahunan sedang main game di HP. Namanya Syarif, ia bercita-cita ingin menjadi perenang. Saat saya tanya tentang legenda ikan itu, Syarif hanya tersenyum malu-malu. Matanya tidak beralih dari gadget di tangannya. Ia tidak menyimpan rasa ketakutan akan kutukan seperti generasi Angkap dan mungkin generasi beberapa tahun sesudahnya, saat dongeng tak lagi berdaulat di benak anak-anak.
Demikianlah legenda bekerja. Tugasnya adalah meninggalkan kesan sesuai dengan imajinasi seseorang. Tidak ada yang sama persis, apalagi mendapatkan sebuah kepastian dari legenda tersebut. Beragam cara mengeskpresikannya.

Saya kembali mengingat bagaimana Andie, arsitek Hotel D’Oxville mengespresikan legenda Sungai Janiah yang bersemayam di benaknya sejak ibunya mengisahkannya. Andie, seperti anak-anak Padang lain seusianya, tumbuh dengan legenda. Saat gadged dan televisi masih menjadi barang langka, legenda dan dongeng ibu mengisi ingatannya. Sebagai arsitek, ia mengekspresikan kenangan itu menjadi sebuah art work di langit-langit hotel. Berupa patung ikan berbahan resin yang digantung dengan sling transparan lengkap dengan butiran nasi kuning yang melayang. Saat kepala saya mendongak ke atas, saya seperti berada di bawah pusaran ikan itu, pusaran dongeng yang sekarang saya hadapi.
Hanya saja, kemajuan kerap menyisakan sisi lain yang susah dijelaskan. Bahkan memang tidak perlu penjelasan, cukup dinikmati saja. Sesekali boleh juga mencobanya sebagai sebuah pengalaman. Itulah yang saya rasakan saat mencoba mengangkat batu angkek-angkek, hari selanjutnya.
Catatan: Tulisan ini sedianya akan disusun untuk sebuah buku dengan judul Minangkabau Rendezvouz.