Rusdi Mathari

Rusdi
Foto: diolah dari Goodreads.com

Tak ada yang mati hari ini,
Ini bukan obituari
Tetapi hanyalah sebuah catatan perjalanan
Ketika engkau tiba lebih dulu di tempat tujuan
Meletakkan rasa sakit yang kausandang di tas punggungmu
Dan kegelisahan itu
Seperti kawan karib penjaga pusara

Tak ada yang mati hari ini,
Sebab hadirmu masih akan terus kami baca
Sebagai jejak pesona
Tentang seseorang yang mencintai apa yang diyakini
Keindahan apa yang melebihi harumnya cinta itu, Mas?

Waktu lindap terlalu sigap
Ampas kopi mengabu
Tubuhmu berlalu

Sekali lagi,
Tak ada yang mati hari ini

2 Maret 2018. 08.15 WIB

Sudah berjam-jam di depan lap top, kursor itu hanya berkedip tak beranjak. “Rusdi hari ini meninggal jam 08.00, Tik,” tulis kawan di WA. Saya tak segera merespon. Hanya tanya, berita dari mana? Dari grup AJI. Saya masih diam, tidak tahu harus membalas apa. Perlahan saja, mata ini menghangat. Sungguh, saya (berusaha) tidak sedih. Hal yang sama, yang saya lakukan ketika membesuknya, akhir Agustus tahun lalu, di rumah sakit.

“Mas, aku datang.”
“Kamu dari mana?”
“Dari Ujung Kulon lalu ke sini.”
“Sama siapa?”
“Sendiri.”
“Aku lapar.”
“Nih, aku bawa roti. Mau?”
“Kok bentuknya sudah begitu?”
“Emmm… “
“Kupesankan es krim ya.”
“Mauuu.”
Lalu kami bercerita tentang menu rumah sakit siang itu lalu menebak-nebak bahwa chef-nya tak punya imajinasi bagaimana pasien akan menyantapnya. Saya tak ingin mengingat bagaimana ia sakit. Saya ingin mengingatnya bagaimana ia hidup.

Ingatan itu beranjak pada tahun 2013, siang terik, ketika saya sungguh putus asa usai liputan. Hari itu naskah harus masuk, sementara narasumber meleset semua. Lalu iseng saya buka internet, tadinya dengan kata kunci: matahari. Ini sehubungan dengan liputan saya hari itu. Akhirnya justru nyasar ke “Mathari” dan itu Rusdi Mathari.

Beritanya tentang kasusnya dengan media tempat ia bekerja saat itu dan AJI turun membantunya. Satu demi satu berita itu saya baca, dari sanalah saya mengenal nama itu. Saya lupa persisnya kapan, sampai kemudian kami bisa chat dan cerita panjang lebar tentang dunia jurnalistik dan kecintaannya pada dunia jurnalistik. Satu hal, saya memanggil dia “Bang Rusdi”

“Tak jarna ae awakmu nyeluk “Bang”. La apa, Tik. Padha arek Jawa-ne. Awakmu ki ana ana ae,” katanya suatu hari ketika akhirnya kami bertemu, setelah hampir 1 tahun jadi teman chat.

Peserta no. 17 Diklat Jurnalis Fesyen

Mei 2014. Saat itu The Actual Style mengadakan diklat jurnalis fasyen di Phalie Studio. Rencananya, pematerinya Mas Sadikin, Bang Firman Lie (kini dosen IKJ) dan Mbak Patricia Sandjaja (dari Phalie), dan saya. Pengumuman pendaftaran disebar melalui medsos dan website, ada 17 peserta. Dan peserta ke-17 itu adalah Rusdi Mathari.

Sehari ketika saya dan Mas Sadikin menyiapkan materi, saya sempat “jiper” dan memutuskan untuk tidak jadi memberi materi keesokan harinya. Mas Sadikin tertawa tetapi melihat saya serius grogi, dia serius mengatakan, bahwa kita tidak akan menggurui siapa pun di diklat itu. Kita hanya berbagi apa yang sudah dilakukan The Actual Style.

“Tapi dia Rusdi Mathari, Mas,” jawan saya tetap jiper.
“Kamu kenal dia?”
“Ya, kenal. Eh, maksudnya tahu kalau dia wartawan senior.”
“Pernah ketemu?”
“Belum, sih. Tapi…”

Begitulah, pagi itu, dengan perasaaan tidak menentu, saya tetap berangkat ke Phalie Studio, sebab itu diklat pertama The Actual Style yang benar mengharukan saya. Haru sebab pelatihan itu dibuat dengan modal yakin dan percaya dan kami memberikannya gratis pada siapa saja yang mau belajar menjadi jurnalis fesyen. Sebab menjadi jurnalis fesyen bukan soal kehidupan glamour, tetapi tentang budaya, kode etik jurnalistik, hingga isu buruh.

Meski Mas Sadikin mau menemani saya di depan (janji yang tidak penting sebetulnya),  diam-diam saya berdoa, semoga peserta ke-17 itu membatalkan niatnya.

Satu per satu peserta datang, dan hari itu doa saya terkabul. Peserta ke-17 tidak jadi hadir dan dia mengabari dengan resmi meski melalui inbox di FB. Mengatakan mohon maaf bahwa hari itu tidak bisa datang karena ada tugas lain yang harus ia lakukan hari itu, sangat mendadak.

Lepas dari saya yang chicken dan “kalah awu”, satu yang saya kagum dari kisah ini adalah dia yang tak pernah berhenti belajar. Kurang senior apa dia dan masih mau ikut jadi peserta diklat jurnalistik. Hal yang ingin saya tanyakan pertama ketika ada kesempatan bertemu dengannya.

Di 1/15 Gandaria, Sore itu

Ini adalah pertemuan pertama setelah sekian kali gagal (yang jelas diklat itu tidak perlu dihitung). Kami bertemu dengan tujuan untuk membicarakan buku yang akan kami tulis bersama atas ajakannya.

“Serius, Bang? Saya loh tidak paham politik sepertimu.”
“Buku tentang cinta. Dunia politik itu sudah amis dan sesak, Tik. Aku sudah bosan,” katanya. “Kita membuat buku tentang cinta dan gunung.”

Saat itu saya hanya menanggapi dengan lempeng, sampai kemudian sebuah puisi dikirim di lini masa FB saya. Sungguh saya tak bisa menahan tawa. Demikianlah, kami kemudian bertemu untuk (niat) membicarakan buku tentang cinta dan gunung itu.

Saya sampai duluan, di sebuah kafe di Gandaria sebelum liputan. Dia telepon berkali-kali sebab alamat itu memang susah ditemukan.

Sampai akhirnya ia datang, dengan rambut gondrong tergerai, celana denim biru, berkacamata hitam ala kumbang. Saya sempat mau ngakak tertahan melihat penampilan yang demikian rock n roll seperti gitaris band emak saya.

“Ah, akhirnya kita ketemu ya, Bang,” kata saya. Tetep “Bang” Seperti rasa penasaran saya, saya pun menanyakan apakah betul dia serus ikut diklat jurnalis fesyen.

“Lhoh, bener. Aku kan tidak tahu dan belum pernah meliput fesyen. Ya aku pingin belajar dari kamu,” katanya.

“Gue, Bang?”

“Lah, kamu kan wartawan fesyen.”

Saya ngakak. Lalu berceritalah saya bagaimana saya ikut “kesintingan” Mas Sadikin dan Bayu membangun The Actual Style itu. Dari situlah obrolan kami mengalir, tentang dunia jurnalistik, pemodal, nama besar, dan kegelisahannya tumpah sore itu.

Saya, hanya sebagai pendengar setia dan sesekali memerhatikan cara dia menyulut rokok. Saat itu dia masih merokok, selama saya duduk, ada 9 batang dihabiskannya. Saya menghitungnya seperti saya ingat bagaimana ampas terakhir kopi itu menjadi dingin dan mengabu.

“Aku sudah lama ndak bisa nulis, Tik. Ajarana tah,” katanya.
“Karepmu, Mas,” jawab saya yang mengganti Bang dengan Mas ketika saya tahu ternyata dia orang Situbondo. Jawa 200%.

Pertemuan itu jauh sebelum ia kemudian menjadi penulis di Mojok.co dan kemudian rajin menulis di media daring. Sebelumnya, Mas Rusdi menulis dengan serius di blognya, Rusdi Go Blog.

Obrolan kami berakhir ketika saya harus segera ke Mall Taman Anggrek untuk liputan. Dan Mas Rusdi menawarkan untuk mengantarkan saya dengan sepeda motor trail-nya itu.

“Eh tapi aku ndak tega, Tik. Awakmu mengko kudanan. Numpak taksi wae,” katanya. Memang sore itu hujan.

Begitulah, sebagai seorang kawan, dia sungguh perhatian. Dia sangat menyayangi istrinya dan Voja, putranya. Cinta yang sungguh mengharukan, meski tak selalu bisa bergandengan tangan, istilahnya. Dan nama Voja itu diambil dari nama seorang jurnalis Rusia (kalau tidak salah), yang sangat ia kagumi. Seperti Mas Rusdi mengagumi Voja-nya.

Jadi Wartawan itu Kelenjar, Tik

Kalimat itu yang demikian menancap dalam ingatan saya ketika menyebut Rusdi Mathari dan jurnalistik. Dan Rusdi tak hanya membuat jargon, ia melakukannya. Ia melakukan seumur hidupnya, sejak ia menuliskan profesinya sebagai seorang jurnalis.

Banyak orang lebih mengenalnya daripada saya, tentu saja. Sebab saya tak pernah bersinggungan dalam kerja. Bidang liputan pun jauh berbeda, dia liputan “berat” dan saya hanyalah butiran debu. Hanya dia selalu tekun mendengarkan hal yang memang di luar yang dia tahu, sesenior apapun dirinya. Dia tekun mendengarkan cerita saya tentang dunia flora fauna dan fesyen dengan tanya ini itu. Dan pertanyaan itu bukan basa basi. Ia tak lelah belajar.

Darinya saya belajar hidup sebagai seorang jurnalis yang menjadikan profesi ini sebagai “kelenjar” hidupnya. Ah, sungguh susah menuliskan ini.

Rusdi adalah orang yang “keras kepala” dalam hal prinsip. Ada dua hal yang lekat dalam ingatan saya yaitu ketekunannya mengumpulkan remah fakta dan kesetiaannya dalam menjaga kode etik jurnalistik.

Dalam hal fakta, saya masih ingat ketika ia ingin menulis di blognya tentang Obor Rakyat. Semua media sudah memberitakan dan memang “menyalahkan” Obor Rakyat.

“Pertanyaanku, Tik, apakah semua wartawan yang menulis itu, berapa orang yang sudah pernah memegang (fisik) Obor Rakyat lalu membacanya sehingga bisa menulis?”

Meski “hanya” menulis untuk blog, ia betul-betul melakukan prosedur jurnalistik untuk tulisannya. Sebab seperti tagline di blog itu, jurnalistik bukan monopoli wartawan. Rusdi seperti “artefak” kuno yang berdiri tegak dan terkesan lamban ketika media daring hanya memiliki satuan detik untuk menaikkan berita dan terkadang lupa pada “jiwa” produk jurnalistik: verifikasi.

Rusdi menyusun fakta itu, merenungkannya, baru memublikasikannya. Dalam kasus Obor Rakyat, ia betul-betul menunggu kiriman koran itu datang, membacanya, lalu menulis analisanya. Lantas jika ia ternyata salah (dan ini jarang sekali_, tak malu ia minta maaf seperti pernah ditulis dalam statusnya ketika ia menjadi clicking monkey.

Kami pernah berdiskusi tentang peristiwa yang pernah diliputnya, yang terkadang berbeda dengan media arus utama menulis. Mulai dari tragedi 1998 hingga kasus Jakarta International School dengan sudut pandang berbeda yang luput dari hiruk pikuk dan di sanalah fakta mengendap. Saya kagum dengan ketekunan itu, skeptisisme, dan ketenangannya dalam menghadapi peristiwa.

Di sanalah “Rusdi Go Blog” adalah wujud dari kegelisahannya, sekaligus perlawanannya untuk menyampaikan fakta dengan jernih dan steril dari tekanan lain.

Dan rasanya memang “goblok” ketika profesi ini berderak ke area abu-abu dan Rusdi memilik tegak dengan pilihannya. Hanya pilihan itu tidak tanpa konsekuensi.

“Aku takut, Tik. Aku khawatir tidak bisa menjaga diriku. Tagihan listrik harus kubayar akhir bulan ini. Kebutuhan lain menunggu. Makane, kalau ada proyek nulis mbok aku diajak,” katanya setengah bercanda.

Saat itu pilpres 2014 dan Rusdi, dengan jejaknya, dengan relasinya,  punya kesempatan untuk tidak perlu mengkhawatirkan tagihan rekening listrik itu.

Aduh, sungguh, mata saya menghangat menuliskan ini. Maafkan saya Mas Rusdi, Mbak Ade dan Voja (yang belum pernah saya temui secara fisik, tetapi percayalah, cerita tentang indahmu selalu saya dengar dari Mas Rusdi, dan saya menyayangi kalian), saya tak ingin menuliskan “kemiskinan” apalagi untuk belas kasihan. Saya tahu, dirimu pun tak ingin dikasihani dengan pilihan ini.

Saya hanya ingin berbagi, bagaimana jalan senyap dan pilihan dengan segala konsekuensi dipilih oleh seorang jurnalis yang setia pada pilihannya. Tentu saja, dirimu tak ingin dibilang gagah dengan pilihan “menyulitkan diri” ini.

“Untuk apa, Mas? Untuk apa kamu lakukan semua ini?”
“Aku juga tidak tahu. Mungkin karena memang aku goblok. Makanya, ayo menulis buku tentang cinta saja.”

Katanya. Tawa itu, masih saya ingat. Keindahan apa yang lebih menyenangkan dibandingkan ketika kita bisa menertawakan pilihan bodoh yang kita ambil dengan penuh kesadaran?
Tidurlah, Mas. Tidur tanpa rasa sakit sebab gelisahmu pun perlu istirahat…

Allepo
Semoga ada kesempatan, membawa jejakmu ke Rinjani, seperti keinginanmu

Nama Besar
(ditulis oleh Rusdi Mathari, 2014)

Di Seperlimabelas di Gandaria, ketika aku duduk di bangku bundar dan kamu bersilang kaki di bangku panjang; angka-angka di arloji kita ternyata terlalu lekas bergerak. Kopi kita telah berubah warna, ketika di seberangmu, dari dua daun pintu kaca besar yang cepat dibuka dan ditutup, seorang perempuan menyeret angin yang tak bergerak. Di mana kita sekarang, Tik? Atau di mana aku seharusnya? Kenapa kopi kita terlalu cepat berubah warna? Siapakah perempuan itu? Siapa dia?

Di bawah meja kayu di Seperlimabelas di Gandaria ini, ketika lampu-lampu jalan telah menyala, aku mencari jawaban di sepatu booth cokelatmu. Sudah aku singkap selendang yang kau sandangkan ke kedua bahumu yang terbuka. Telah aku lepaskan kacamatamu yang berbingkai hitam. Masyaallah, perempuan itu rupanya berdiri setengah depak di sebelahku dan di sebelahmu.

Tegak dengan rok pendeknya yang tersingkap. Lalu di antara dua pahanya, aku melihat angin yang tak bergerak yang telah diseretnya, berujung lancip dan berkilau. Aku tak percaya, tapi dia begitu gegas menusukkan ujung angin yang lancip ke pinggangku. Aku berdarah. Perempuan itu merapal mantra. Siapa dia Tik? Kenapa dia terus berbicara, seperti koma melewati titik? Seperti spasi yang tak memisahkan kata? Seperti tanda seru menggantikan tanda tanya?

Dengarlah sekarang, di sisa air kopi yang telah berubah warna, perempuan itu mulai terkekeh. Terdengar seperti tawa tukang sihir. Memantul ke langit-langit. Dia menyebut Nama Besar. Kamu mungkin pernah mengejanya. Abjad per abjad. Barangkali saat itu, sembilan tahun yang lenyap; dengan suara lirih: N.A.M.A.B.E.S.A.R. Siapa dia, Tik? Siapa Nama Besar yang disebut perempuan penyeret angin itu? Diakah yang pernah mengajarkanmu untuk tertib bekerja?

Di Seperlimabelas di Gandaria ini, ketika aku duduk di bangku bundar dan kamu bersilang kaki di bangku panjang; di atas meja, telapak tangan kita terbuka dengan garis yang tak pernah keliru. Benar Tik, orang bisa membawa kebenaran dan ketidakbenarannya masing-masing, tapi pestisida apakah yang lebih kuat dari kebencian?

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *