Membicang Isu yang “Tak Seksi”: Jurnalisme Lingkungan

Isu ini tidak “seksi”, tetapi kenapa harus dibicangkan juga? Sebab kita hidup di satu bumi, belum ada Elysium untuk menjadi bumi ke-dua ketika bumi yang kita huni jadi rusak, atau halaman rumah kita tergenang air sebab es di kutub mencair. Berhubungan kah?

Jurnalisme lingk1
Diskusi “Jurnalisme Lingkungan” SK Coffee Lab, Kediri, 4 Maret 2018. Foto: Arief Priyono

SK Coffee Lab, Kediri, kembali mengadakan diskusi santai meski yang diobrolkan “berat”, kali ini tentang Jurnalisme Lingkungan. Sebagai pembawa materi Moch. Syifa, jurnalis Jawa Pos Radar Kediri yang baru beberapa bulan pulang dari sekolahnya di Ohio University. Studi yang diambil tentang komunikasi lingkungan. Oleh sebab itu, Arief Priyono, salah satu pendiri SK Coffee Lab mengundangnya untuk berbagi ilmu, 4 Maret 2018. Tugas saya adalah memoderatori, tepatnya mengompori penanya (maaf kalau saya jadi ikut-ikutan bicara panjang eh), kurang lebih begitu. Selain itu, saya memang tertarik dengan isu ini.

“Isu lingkungan memang bukan isu yang seksi,” kata Syifa ketika acara belum mulai. Kalimat yang sama ia ucapkan di hadapan 20-an peserta diskusi, kebanyakan mahasiswa Jurusan Komunikasi, STAIN, Kediri. Tak banyak media umum yang memberikan porsi pemberitaan soal isu lingkungan, kecuali bahwa kemudian terjadi kasus yang menyedot perhatian.

Lantas kenapa kita masih harus mendiskusikan isu yang dianggap tidak seksi ini? Jawaban Syifa memang cukup diplomatis, kita hidup di satu bumi. Dan bumi ini semakin rusak.

Jika kita memang sudah tahu fenomena itu, lantas bagaimana?

Komunikasi yang Membumi

Bila kita bicara soal lingkungan, yang terbersit dalam benak adalah isu-isu global mulai dari perubahan iklim, cairnya es di kutub, hingga beruang kutub yang kurus kering. Atau jika dalam lingkup Indonesia, kita bicara tentang menurunnya populasi harimau sumatera di hutan Sumater sana.  Lantas apa hubungannya dengan warga Kediri?

Seperti dijelaskan di awal, kita hanya punya dan tinggal di satu bumi. Barangkali kita tak perlu peduli tentang es yang mencair di kutub utara, tetapi tahukah jika kemudian es yang mencair itu mengakibatkan air pasang melebihi biasanya lantas air itu sampai menggenangi kota kita? Atau ketika petani apel di Malang kebingungan sebab musim tak lagi sama? Atau ketika populasi harimau sumatera sebagai top predator menurun, lantas populasi babi hutan meningkat, panen petani di Sumatera gagal, dan kemudian memengarui pasokan pangan nasional (termasuk stok pangan di Kediri) yang jaraknya ratusan km dari habitat hidup harimau sumatera. Memang, semua itu tidak langsung, tetapi efek berantai ini akan kita rasakan.

Fenomena “mendekatkan” isu inilah menjadi salah satu tugas jurnalis lingkungan untuk menyampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, serasa dekat, sehingga masyarakat menjadi perhatian dengan lingkungan di sekitar kita.

Modal Dasar Jurnalis Lingkungan

“Sebagai wartawan daerah, kita susah sekali untuk memperdalam satu bidang. Misalnya habis meliput pengedar sabu yang tertangkap lalu kita mendapat tugas meliput inflasi di bank,” kata Syifa. Wartawan “spesialis umum” ini akan susah sekali untuk bisa melakukan liputan yang mendalam dalam satu kasus di samping bahwa media tak semuanya memberi tempat untuk liputan mendalam.

Tetapi tetap tak menutup kemungkinan jika ada jurnalis yang ingin mengembangkan dirinya dengan menekuni satu bidang di samping melakukan tugas-tugas lain yang umum tersebut.

“Hari pertama masuk kuliah di Ohio, saya diberi mata kuliah Ekologi,” kenang Syafi. Bidang ini dirasa asing bagi Syafi yang latar belakang ilmunya sosial. Demikianlah, menjadi jurnalis lingkungan harus memunyai pemahaman pada ilmu alam, salah satunya tentang Ekologi.

Pemahaman ini akan bisa menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh salah satu peserta, sebuah pertanyaan yang mungkin umum ketika membaca berita soal lingkungan. Misalnya kenapa kita harus gusar ketika top predator punah lantas terjadi ledakan populasi, toh akan ada mekanisme seleksi alam.

Memang betul, misalnya populasi babi hutan meningkat tajam, akan terjadi seleksi alam. Masalahnya, bagaimana jika yang menduduki ledakan populasi ini adalah manusia? Sebab dalam rantai makanan, manusia juga menjadi salah satu elemen yang setara dengan elemen lain di stratanya. Jika kita yang mengalami “survival of the fittest” ini, bukan kah ini sebuah tragedi (dalam hal perebutan sumber makanan?).

Sama halnya dengan pertanyaan dari peserta,  terbuat dari apakah plastik sehingga susah diurai di alam. Apakah plastik berasal dari planet Mars sehingga menjadi senyawa yang susah diurai di bumi?

Isu Lingkungan dan Kelindan Kepentingan

Pembicaraan juga masuk pada ranah kepentingan ketika isu lingkungan naik menjadi berita. Isu itu menjadi tidak netral ketika sebuah kasus itu lebih kental muatan politiknya dibandingkan dengan lingkungan secara saintifik.

Hal tersebut tak bisa dipungkiri. Hanya seorang jurnalis lingkungan harus mampu memetakan narasumber terkait dengan isu yang disampaikan. Pemetaan ini penting agar pemberitaan tidak bias.

Memetakan keahlian dan kapabilitas narasumber juga penting sebab Syafi mencontohkan, kerap kali sebuah kasus dikomentari oleh narasumber yang tak ahli di bidangnya. Hanya wartawan malas tetap mengutipnya sebab informasi dan narasumber itu mudah dihubungi.

Hal yang perlu ditegaskan juga bahwa jurnalis lingkungan bukan “buzzer” LSM lingkungan. Bisa jadi berada di perahu yang sama, tetapi tetap saja unsur obyektifitas dan verifikasi menjadi “ruh” dalam memberitakan.

Demikian catatan saya tentang pembicaraan tadi sore. Berbincang tentang Jurnalisme Lingkungan memang akan susah jika disampaikan dalam satu pertemuan dengan pendengar yang beragam latar belakang. Setidaknya mengingatkan, bahwa segmen ini masih perlu untuk dihadirkan, meski tak seksi dan tak memanen “klik” yang menggiurkan.

Mari tetap berbincang untuk kembali mengingat bahwa PR jurnalis di era daring ini semakin banyak. Kadang menjadi bingung, mulai dari mana. Mungkin mulai dari mengurangi penggunaan kantong plastik ketika berbelanja dan membuang sampah pada tempatnya sebelum kita berbicara tentang politik perubahan iklim.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *