Namanya “Sinegal”, sebut saja begitu. Sebab ketika saya bertanya namanya, entah mungkin karena logat bahasa saya yang tak dimengerti olehnya, atau memang saya sudah tak punya tenaga sehingga suara saya tak sampai pada desibel yang bisa didengarnya, dia hanya menyebut saya dari Sinegal. Setiap kali bertanya, siapa namamu, dia selalu menjawab dengan Bahasa Indonesia: Kamu cantik sekali. Kalian semua cantik sekali.

Kami bertemu dengan lelaki ini di Stasiun Jenewa, ketika kami susah payah menaikkan koper di kereta menuju Milano Centrale, Milan. Awalnya, ketika Si Sinegal dengan seragam hijau ini akan membantu, kami menolak dengan isyarat. Dia tetap mengambil koper-koper kami yang padat itu. Lalu kami lugas menolak dengan bahasa, tetapi si Sinegal ini tetap mengangkat koper-koper kami dengan isyarat bahwa ia orang baik. Saat itu kami pada kondisi tidak bisa menolak, sebab kereta sebentar lagi berjalan. Selain susah menaikkan koper dari stasiun ke kereta, mendorongnya ke bagasi pun butuh kekuatan ekstra. Demikian, atas bantuan si Sinegal ini, kami sangat terbantu.
“Oh kamu dari Indonesia. Brother mosleem,” katanya bahagia tanpa dibuat-buat. Hanya sejujurnya, kami tetap menaruh curiga sebab stigma. Curiga sebab catatan tak bagus yang kami sematkan pada warga kulit hitam di Eropa, khususnya di Italia. Tak bermaksud SARA, mohon maaf, tetapi pengalaman menempa kami.
Beberapa hari sebelumnya di Milan, kami mengalami beberapa pengalaman tak menyenangkan dengan warga kulit hitam (meski saya tahu, kejahatan tetap tak mengenal warna kulit). Di Duomo Cathedral, salah satu landmark di Milan, tempat banyak turis berkumpul, sekaligus tempat banyak sekali copet beraksi. Untuk copet, kami tidak tahu ras apa yang melakukan. Sebab beberapa orang terkena musibah ini. Uang ribuan Euro, tablet, dan HP raib dengan sangat cepat. Tak hanya di Duomo tetapi juga di TRAM. Menurut teman yang melapor ke polisi, pada hari yang sama, puluhan pelapor di kantor polisi. Sementara itu, polisi Italia agaknya sudah terbiasa dengan laporan ini. Sementara teman ini harus mengurus paspor sampai Roma, sebab paspornya ikut raib juga.
Soal aksi yang terlihat adalah lelaki berkulit hitam ini menawarkan bunga dan gelang. Ujung-ujungnya mereka akan memaksa sejumlah uang. Menawarkannya pun gigih. Soal gelang ini, kawan saya nyaris kena dan dikerubuti beberapa orang. Untuk bunga, saya pun nyaris kena. Ketika kami duduk di English Rose Garden, belakang Duomo, tempat patung Leonardo Da Vinci, seseorang menawari saya bunga. Awalnya memang sangat manis. Dan ketika dia tahu, kami dari Indonesia, mereka akan menyebut “brother mooslem” dan mengucapkan Assamualaikum. Akhirnya tetap malak.
Tragedi itulah yang kemudian memberikan pagar duri ketika bertemu dengan orang asing. Antara ketakutan dan waspada. Demikianlah, sejujurnya menjadi tak nyaman. Ketika suatu malam di dekat studio Giorgio Armani, fashion designer ternama itu, kami makan. Ada orang yang ramah menyapa saya, yang saya lakukan menjawab seperlunya, lalu kabur. Padahal mungkin dia orang baik.
Begitulah latar belakang ketika kami kemudian “mencurigai” si Sinegal ini. Ada sejarah ketakutan yang dibentuk beberapa minggu di Milan. Sampai kemudian si Sinegal ini duduk di seberang tempat duduk kami. Ia mengaku melakukan perjalanan ini hampir tiap hari, menempuh 4 jam kereta dari Milan ke Jenewa PP. Ia sudah 30 tahun tinggal di Milan.
Ketika kereta berjalan, ia duduk sendirian. Kemudian ia mengeluarkan kantong plastik dan menghitung uang recehan. Sampai di sini, teman saya langsung leleh. Ia tadi tidak meminta uang ketika membantu kami menaikkan koper, sama sekali. Ia memang ingin menolong.
Kemudian teman saya ini mengumpulkan uang koin yang ia punya (perlu diketahui, meski kelihatannya koin, ini pun nominalnya besar jika dirupiahkan ketika 1 Euro=Rp 17.000,-). Teman saya hati-hati ketika memberikan, harapannya agar tidak menusuk perasaan toh si Sinegal ini bukan pengemis. Kami hanya ingin berterima kasih sudah dibantu. Jawabannya di luar dugaan kami dan semakin menjadikan kami leleh lagi.
“Thank you. Kamu cantik sekali. I can buy pizza for my family,” katanya. Jleb. Andai kami sedikit kaya, rasanya ingin memberikan lembaran uang Euro lebih banyak saat itu.
Kejadiannya tidak sampai di situ. Ketika petugas tiket datang, si Sinegal ini terusir. Rupanya ia tidak punya tiket. Kami sungguh ingin membayari dia, agar dia bisa naik dan tetap duduk. Hanya saja tampaknya dia bukan diturunkan, melainkan disuruh pindah saja. Ia berdiri, mengucapkan senyum pada kami, lalu berdiri sambil membuka plastik besar untuk mengumpulkan sampah. Apakah dia petugas kebersihan, kami tidak tahu. Sebab di kereta nyaris tak ada sampah. Orang-orang Eropa sudah sangat tertib ketika membuang sampah.

Nah, hal yang tak kami duga lagi, 4 jam kemudian, ketika kereta turun di Milano Centrale, stasiun akhir. Kami sekali lagi, berupaya menurunkan koper-koper kami. Dan si Senegal tadi, entah dari mana, datang lagi untuk membantu! Dia masih mengingat kami, 4 perempuan dan 1 laki-laki yang sarat muatan ini. Setelah semua koper berhasil turun, ia sungguh-sungguh berpesan,”Keep your eyes with it all,” katanya sambil menunjukkan barang-barang dan mengacungkan dua jari ke matanya. Lalu ia berpesan dan ini sungguh menohok kami, hati-hati pada orang seperti kami (kulit hitam), karena banyak dari mereka copet. Dan pada kawan laki-laki satu-satunya di rombongan kami, si Sinegal iseng,” Kamu beruntung, mereka semua cantik-cantik.” Kawan laki-laki ini, seperti biasa, senyum datar. Seperti mukanya, eh.
Begitulah, kami butuh waktu 4 jam dan melihat apa yang Sinegal lakukan ini terhadap kami untuk mempercayainya bahwa dia orang baik.
Lalu kembali ke Tanah Air. Bom yang meledak bersamaan di tiga gereja di Surabaya minggu lalu bukan hanya menyisakan pedih bagi para korban, keluarga yang ditinggalkan, tetapi juga terkoyaknya persaudaraan. Frasa terakhir ini penyembuhannya demikian lama. Mungkin itu juga yang diharapkan para ekstrimis. Luka sosial, pisau-pisau prasangka yang menikam pada setiap pandangan mata. Salahkah?
Tak ada yang salah dari semua itu. Reaksi wajar ketika kecurigaan dan stigma dialamatkan pada perempuan bercadar dan laki-laki bercelana di atas mata kaki. Pedih? Iya, sangat. Betapa berat melawan prasangka dan stigma. Seperti itulah yang diharapkan para ekstrimis itu.
Hanya bagaimana stigma dan prasangka ini tidak berlanjut ketika ada seseorang yang mengaku ustadz (maaf, saya pribadi tak pernah bisa menyebut mereka ustadz), membenarkan tindakan para ektrimis ini. Mereka mengubah terminologi “bunuh diri” menjadi “mati syahid di Jalan Allah”. Bagaimana stigma ini tak lekat?
Apalagi, ini yang membuat saya tak kuat untuk tidak memaki, partai politik dan politikus yang memanfaatkan moment ini untuk nafsu kekuasaan mereka. Itu sungguh jahat.
Lalu apa? Yang bisa dilakukan dari kedua belah pihak, yang terstigma dan yang menyematkan prasangka. Pengertian. Bagi yang terstigma hendaknya bisa menunjukkan bahwa mereka bukan bagian dari ekstrimis itu. Sedangkan kecurigaan kita semoga hanya sebatas kehati-hatian, bukan menjurus pada aksi yang lebih besar dan berlebihan.
Memang tak mudah melewatinya. Kami butuh 4 jam dan melihat bahwa si Sinegal orang baik ketika ia betul-betul membantu kami. Butuh waktu lebih lama untuk memulihkan luka sosial yang terkoyak. Butuh para pemuka agama menyampaikan ajaran dengan teduh, sebab sesungguhnya paham ekstrimis itu tidak laku di negeri Bhineka Tunggal Ika ini. Pada detik ini saya sungguh salut pada umat Kristiani yang tak tersulut. Mereka tetap meliputi dirinya dengan cinta kasih. Hormat saya sehormat-hormatnya.