Bohemian Rhapsody, Sebuah Narasi Sunyi untuk Freddie

45742686_10156723169292808_6254616051162546176_n
Selalu ada narasi baru bila bertemu denganmu, Mbak Weda. Rasanya…

Dear Freddie,

Hari ini adalah hari terakhir “Bohemian Rhapsody” diputar di kota di mana aku tinggal. Kota yang tak akan terpikir olehmu, apalagi di peta perjalanan tour-mu. Tapi itulah kenyataan, nada dan syairmu melebihi jangkauan geografismu, bahkan jangkauan usiamu. Engkau masih hidup kini, bernapas dalam lagu-lagu yang kukenali.

“Tontonlah ini. Nonton saja. Setelah itu, kamu tonton di youtube. Freddie Mercury: His Tragic AIDS Story,” kata Mbak Weda (Ayu Weda) yang mengajak saya nonton. Sejujurnya, saya tak punya preteks apa-apa tentang dirimu kecuali bahwa beberapa lagu Queen saya suka. Sementara Mbak Weda adalah lady rocker era tahun 90-an. Meski bukan di era yang sama dengan Queen, setidaknya ia lebih tahu banyak tentang Queen daripada saya. Begitulah, saya menonton tanpa ekspektasi apa-apa dengan sesekali Mbak Weda membisikkan keterangan. Ia sudah menonton dua kali.

Dear Freddie,

‘Seorang laki-laki yang kelebihan gigi seri’, saya suka frase itu. Bagi saya yang tak mengenalmu, Rami Malek mempresentasikan dirimu dengan segala kemampuannya, dan saya suka. Sebab saya tak berekspektasi melihat dokumenter, dirimu hadir sebagai fakta seutuhnya, tapi saya menonton sinema tentangmu.

Scene-scene awal seperti kisah pada umumnya. Layar itu ingin menyuguhkan keglamouran bakatmu. Kamu jenius, kamu bertalenta. Bahasa gambar untuk menunjukkan nada yang akan mengudara melebihi batas usia kehidupanmu berhasil ditampilkan Bryan Singer (sutradara). Engkau tampil beda dan berdebat keras dengan produsermu dan yakin bahwa karyamu bagus.

“Engkau akan dikenal sebagai orang yang ditinggalkan Queen,” katamu congkak kepada Ray Foster, direktur AMI. Dan seperti kisah sukses lainnya, kamu benar. Bohemian Rhapsody yang 6 menit mencatat lagu panjang yang menguasai tangga nada radio.

Pada scene ini, saya sempat tersenyum dalam hati. Tentang kepenulisan yang menjadi duniaku. Bagaimana kalau saya ngotot sepertimu dan yakin bahwa karya saya out of the box. Ending-nya karya itu tetap sebagai narasi sunyi yang tersimpan di laci paling dalam dari lemari. Jangankan jadi mahakarya yang dibicarakan banyak orang, bahkan terbit saja tidak, cukup menjadi karya yang hanya diri saya yang paham. Mimpi menjadi seorang yang out of the box tentu jadi imajinasi semua artisan. Faktanya, tak banyak untuk yang jadi nyata. Bahkan kadang, lebih banyak orang yang lebih sibuk bermimpi dengan istiqomah dibanding bangun dan mewujudkannya. Begitulah, seperti yang menulis narasi mimpi ini, Freddie. Ya, penulis ini!

Dear Freddie,

Lika-liku hingga akhirnya Queen tampil di Live Aid 1985 adalah klimaks yang mau tak mau membuat dada ini bergetar. “Kalau kamu bangun setelah tanggal ini (Live Aid), kamu takkan menyesal berada di panggung itu,” katamu, sekali lagi, dengan kepercayaan diri seorang laki-laki yang kelebihan gigi seri. Begitulah jika menonton film-mu seperti membaca buku kisah orang-orang sukses dan sederet buku di buku self improvement, maka dirimu adalah contoh yang sempurna. Klausul yang mudah sekali dikutip oleh para motivator.

Tapi bagiku, yang pelamun berat, dan selalu melihat (bener melihat, bukan mendengar) lagu dari liriknya, saya mulai meleleh ketika dirimu menulis lagu untuk Mary Austin. Lepas bahwa kemudian nada-nada Queen menjadi nada yang begitu lekat bagi telinga dunia, memenuhi rongga atmosfer lingkar bumi ini. Saya mendengar nada itu seperti frase yang akan selalu mengikutkan penciptanya. Seperti kata adalah senjata maka akan teringat Subcomandante Marcos. Seperti kalau di negaraku, hanya satu kata: lawan, maka akan mengikutsertakan Wiji Thukul. Seperti jika tempe setipis ATM, akan mengikutsertakan…jargon-jargon yang lain.

Bagi saya, lirik dari sebuah lagu itu yang pertama rekat sebelum nada. Bagaimana bisa saya merasakan, engkau menuliskannya Love of My Life untukku? Atau lebih tepatnya, saya yang menulis syair itu untuk… untuk sebentuk cinta yang mengambang di udara. Mengambang pada batas bahagia dan duka, pedih mengerat ulu hati sekaligus menjanjikan keindahan yang paling indah.

“Bagaimana rasanya ketika semua orang tertuju padamu?” tanya Mary. Sejenak kamu berpikir.

“Saat itu aku berpikir untuk takkan pernah sekalipun seumur hidupku, menyanyi dengan suara fals. Semua orang menyanyi. Ribuan orang menyanyi Love of My Love. Semua orang menyanyi untukmu, Mary,” jawab Freddie.

Adegan inilah yang kemudian membawaku masuk ke dalam dirimu lebih dalam. Melupakan kesuksesan yang engkau raih di atas panggung itu. Menuju kisah terdalam, masuk ke dalam dirimu dan saya menemukan kesunyian itu berdaulat di sana.

Dear Freddie,

Semua itu berawal ketika dirimu mengaku pada Mary bahwa dirimu adalah biseks, sementara Mary mengatakan dirimu gay. Betapa perang besar melanda dalam dirimu. Cintamu pada Mary tak diragukan lagi, tapi di sisi lain, tubuhmu menolak teramat kuat.

“Aku tahu. Yang aku sesalkan, ini bukan salahmu, Freddie,” kata Mary. Bukan salah Freddie ketika tubuhnya menolak perempuan. Memang banyak teori mengatakan bahwa karena pergaulan dll. Tapi tak semua demikian adanya. Menjadi gay tak selamanya adalah tren apalagi pilihan. Saya bisa menuliskan ini karena berteman dekat dengan beberapa teman baik yang gay dan saya tahu bagaimana usahanya untuk menjadi tidak gay. Berhentilah untuk menghakimi soal ini, merasa paling suci, sementara bahkan kita pun tak tak bagaimana gerak sel tubuh kita sendiri, denyut jantung kita sendiri, apalagi tubuh orang lain.

Kemelut ini kemudian berimpak pada semuanya. Selain kesuksesan yang kauraih, kekosongan karena perang batin ini menjadikanmu egois seakan ingin sendiri sekaligus begitu rapuh ingin ditemani. Scene yang berganti-ganti dalam beberapa detik antara kemegahan panggungmu dengan ribuan penonton dan wajahmu yang diam di sisi lain ini sukses menunjukkan kepedihan yang lebih dalam dari kata apapun, bahkan air mata.

Gestur bagaimana engkau mengatakan “I love you, Mary,” di telepon sementara matamu mengikuti gerak laki-laki gagah yang melintas di depanmu adalah bahasa bagaimana dirimu terbelah dengan tepat benar pada bagian yang seharusnya menjadi utuh. Cara sinema ini mengatakan bahwa dirimu gay sungguh cerdas sekali.

Cara yang berbeda yang digunakan oleh Freddie Mercury: His Tragic AIDS Story, 2006. Sebab ini dokumenter. Dan saya, karena sama-sama tak mengenalmu, saya memilih cara sinema menyampaikannya. Saya ingin mengingatmu sebagai keindahan paradoks cara mencintai dalam hidupmu.

Energi itulah yang menyesapkan rasa di setiap nada dan syairmu. Mungkin Stephen King betul, untuk menjadi penulis yang hebat, yang dibutuhkan hanya selembar kertas dan keluarga yang berantakan. Sebab kebanyakan, karya yang dihasilkan oleh orang yang hidupnya baik-baik saja, hidupnya rata seperti telenan, maka kisahnya pun datar-datar saja. Tapi tak berlaku sebaliknya. Seseorang yang hidupnya berantakan belum tentu menghasilkan karya yang bagus juga. Berantakan di hidup dan tak menghasilkan karya apa-apa pun banyak.

Energi yang terperangkap di tiap huruf, sehingga menggerakkan hati di segala zaman untuk ikut berdendang atau sekadar mengangguk-angguk, sesekali menghentakkan kaki ke lantai ketika mendengar syair-syairmu.

Atau bagi saya, ada yang menusuk di bagian entah mana, menjadikan diri ini terasa sesak ketika mengikuti lirikmu. Saya seolah ikut merasakanmu, Freddie. Bukankah kita tak bisa memilih harus jatuh cinta pada siapa? Andai bisa memilih, kita pun akan memilih cinta yang sungguh masuk akal, tidak salah tempat, salah waktu, apalagi salah tubuh sepertimu. Kita tak bisa memilihnya dan tampaknya Tuhan sangat suka bermain-main dengan cinta macam ini. Entah apa mau-Nya.

Mencintai itu sesungguhnya sebuah tindakan yang keabsurdannya menembus galaksi tetangga. Bahagia sekaligus sengsara. Rindu sekaligus ingin mengutuk menjadi batu. Ingin bertemu sekaligus menyulapnya jadi debu.

Dear Freddie,

Akhirnya fragmen sinemamu mengajariku untuk menyapa kesenyapanmu. Pestisida apa yang lebih toksik dibandingkan merasa sendirian? Kesendirian yang tak cukup diruntuhkan oleh milyaran penggemarmu yang mengelu-elukanmu di panggung. Kesendirian yang hanya bisa diruntuhkan oleh orang yang memahamimu dan kaucintai. Dia yang akan masuk ke dalam dirimu dan berdiri tepat di tempat kesunyianmu berdaulat dan menikamnya hingga mengaduh dan luruh. Pada akhirnya, peluk sahabat yang menghidupkanmu kembali. Hidup dengan “H” kapital.

Sialnya, kadang, seseorang itu berada pada petak waktu yang tak seharusnya. Ah, izinkan saya ikut menyanyikanmu, Freddie…

…love me like there’s no tomorrow
Hold me in your arms, tell me you mean it 
this is our last goodbye and very soon it will be over
But today just love me like there’s no tomorrow…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *