Sebab Perjalanan adalah Mencari Jarak Jarak Terdekat dengan Diri Sendiri (:Faisal Oddang dan Cok Sawitri di Borobudur Writers and Cultural Festival 2018)

Kita bepergian, tidak untuk menjauh. Tidak pula untuk memupuk langkah hingga menimbun diri dalam jarak. Lantas kita membusungkan dada pada tumpukan langkah itu, menasbihkan diri sebagai pengembara. Betulkah? Ketika pengembaraan adalah langkah sunyi. Yang terderngar hanyalah percakapan dengan diri sendiri. Kita pergi mencari diri sendiri.

blog.jpg
Dari kiri: Kris Budiman (moderator), Faisal Oddang, Cok Sawitri

Banyak slogan serupa seolah menjadi ikrar para pengelana. Waktu SMA ketika pertama kali naik Merbabu tahun 1995, ada sebaris kalimat yang mengawali langkah. Kami pergi mendaki bukan amor fati, tapi memaknai hidup yang hanya sekali. Heroik, dan tentu saja saat itu saya tak tahu apa-apa. Yang saya tahu, itu adalah ulah iseng Cahyadi Joko Sukmono (yang pada saat itu ketua Emapal). Entah saya harus berterima kasih atau…

Perjalanan demi perjalanan saya jalani. Ternyata bukan hanya sekadar memindahkan tubuh dari koordinat satu ke koordinat lain. Tapi lebih dari itu. Pun perjalanan, tak selamanya perpindahan koordinat geografis. Ruwet ya? Sangat. Sudahlah, untung ini blog yang saya bisa menulis semau saya. Jika ini artikel, tentu ini adalah paragraf sampah.

Jalan pikiran yang melompat tak runut ini tiba-tiba melintas begitu saja ketika saya menyimak salah satu dari sekian diskusi di The 7th Borobudur Writers and Cultural Festival 2018, 22-25 November 2018. Kawan, kedatangan saya ke sini sebenarnya hanya sekadar ingin melihat pentas Sakyamuni Itu Saja (Perlu Mati)karya Cok Sawitri. Sebuah drama tari yang merepresentasikan jalan spiritualisme. Hanya itu tujuan saya. Bahkan saya pun tak tahu jika tema acara demikian menggetarkan, Traveling and Diary, Membaca Ulang Kitab-Kitab Pelawat Asing tentang Nusantara.

Ada Tuan Wallace! Yes, dia! Meski kemudian saya sempat nyonyor ke Mbak Cok, di bunga rampai makalah “Membaca Tagore , Raffles, dan Pelawat Nusantara Lain”, Tuan Wallace tak punya bab khusus. Yang ditulis hanya Rumphius selain Tagore, Raffles, dan Yin Jin sebagai back drop-nya.

“Halah, kamu itu. Tuan Wallace melulu. Beralihlah ke Tagore, atau yang lain lah,” kata Mbak Cok.
“Mbak, tahu nggak. Wallace itu keren. Itu beda dengan Darwin. Darwin itu perjalanan mewah. Dia mengembara dibayar, lalu namanya jadi besar. Sementara Wallace mengongkosi dirinya sendiri. Itu gue banget gitu loh. Surat-surat Wallace itu ngenes. Gimana ia bertahan dengan sekaleng biskuit di rimba Sumatera. Bahkan ketika pulang dengan ribuan spesimen itu, dia pengangguran total. Cobak?”

Baiklah, langsung ke topik yang ingin saya sampaikan. Jadi, saya ikut diskusi pengalaman 4 sastrawan yang ikut residensi penulis yang diadakan Komite Buku Nasional (yang saya pernah ikut daftar dan tentu saja tidak diterima :D). 4 Sastrawan ini adalah Martin Aleida dan Agustinus Wibowo dengan tema diskusi “Perjalanan Mencari Identitas” di sesi kedua. Sedangkan yang saya ikuti adalah sesi pertama, Cok Sawitri dan Fasial Oddang dengan tema “Pergi Mencari Tradisi”dengan moderator Kris Budiman.

Faisal Oddang, La Galigo di Negeri Seberang

Diskusi diawali oleh Faisal Oddang yang melakukan residensi di Belanda. Ia menyusuri naskah La Galigo yang ditulis dalam buku puisinya “Manurung: 13 Pertanyaan untuk 3 Nama” Tiga nama itu adalah Datu Palinge, Sawerigading, dan La Galigo.

Pada diskusi tanggal 24 November 2018 di Hotel Manohara itu, Faisal mempertanyakan La Galigo dari sudut pandang para budak. Budak-budak tak punya kesempatan bertanya di masa lalu. Jangankan bertanya, bicara pun pantang.

Faisal merasa perlu mempertanyakan La Galigo dari orang-orang pinggiran sebab La Galigo menjadi salah satu kitab yang menyimpan kisah Islamisasi Bugis. Dari La Galigo, ia membaca proses Islamisasi tak hanya melalui perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, artinya menjadi pemeluk Islam, tapi juga perubahan nama-nama tokoh La Galigo yang ditulis setelah Islam masuk.

Lawatannya ke Belanda dalam program residensi sastrawan itu semakin memperkaya sudut pandang Faisal. Sebuah pertemuannya dengan La Galigo dalam berbagai versi yang tersimpan di Leiden. Rata-rata ditulis pada tahun 1800-1850.

Saya sendiri percaya, ketika kita mengadakan perjalanan, maka akan mendapatkan kejutan dan pertemuan pada hal yang tak terduga. Jadwal Faisal sungguh rapi di Belanda sampai menemukan yang tak terjadwal, yaitu bertemu La Galigo yang ditulis 100 rahun sebelum naskah-naskan yang tersimpan di Leiden. Naskah itu dimiliki seseorang yang kebetulan ia jumpai di Belanda.

Pada akhirnya, bukan jawaban yang didapat Faisal dari perjalanan itu. Tetapi lebih banyak pertanyaan yang akan menuntun ke perjalanan berikutnya.

Cok Sawitri, “Membaca” Aksara di California

Lain halnnya dengan Cok Sawitri yang mengadakana perjalanan nyaris “tanpa konsep”.
“Serius sekali si Faisal ini,” katanya tak kalah serius gaya Cok. Ia jujur mengakui, dari awal tidak punya janji dengan profesor atau jadwal khusus sebagaimana Faisal. Bahkan kepergiannya di tengah duka ketika ayahnya pergi dan dia sibuk upacara.

Hanya Cok tetap punya draft naskah yang ingin ia selesaikan yaitu kisah Kalki dan menyusun aksara. Aksara ini bukan aksara Bali, atau huruf lontar (meski Cok pembaca lontar) melainkan Aksara Modre. Dalam aksara ini, ada 1600 aksara yang terbaca baru 600.

Saya pernah ditunjukkan teks aksara yang disusun Cok. Saya suka bahasanya seperti mengingatkan saya pada teks Janda dari Jirah yang ditulisnya. Indah. Meski jelas saya tak paham.

Cok pernah menjelaskan tentang aksara tubuh, bagaimana jika susunannya dibalik, akan membunuh dll (ini bukan klenik ya). Ya sekali lagi, saya tak paham. Hanya saya suka bentuk-bentuknya, misterius.

Nah, hal menarik yang disampaikan Cok bagi saya justru soal perjalanan “memungut” aksara itu. Bagaimana “membaca” dalam perjalanan. Ia memilih California, kota yang sepertinya tak ada hubungannya dengan tradisi Nusantara. Misal kalau Leiden kan jelas, ada naskah-naskah kuno di sana. Ini California. Kota yang mahal dan sibuk.

Di sinilah menariknya. Cok tinggal di keluarga multi ras. Bukan hanya percampuran dua ras, tapi saling silang dari ras Jepang, Afrika, Tionghoa, Spanyol, dan Inggris yang bercampur menjadi satu darah keluarga.

“Dan mereka menjalankan tradisi Jepang yang mungkin malah lebih bagus daripada orang Jepang di negara Jepang. Mereka merawat “kemurnian” tradisi itu,” kata Cok. Bagaimana mereka belajar huruf kanji, minum teh, dan bersikap sebagaimana “rasa” orang Jepang dan itu secara geografis terpisah separuh lingkar bumi dari negera asalnya.

Sementara di Jepang sendiri, ketika pengaruh berbagai kultur, termasuk gengsi ketika tetap menggunakan tradisi, akan mengubah tradisi itu sendiri. Secara visual masih mengenakan kimono, tapi “rasa” itu sudah bergeser.

Cok juga mencontohkan keluarga di Bali yang mengajarkan anaknya dengan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Sementara bahasa Bali yang menjadi bahasa ibu sudah tidak digunakan lagi di keluarga itu. Alasannya macam-macam, tragisnya jika karena malu.

Sebab kata Cok, hilangnya satu kata bahasa ibu, akan mengikuti hilangnya memori dan ilmu pengeratahuan yang terkandung di kata itu. Hal ini saya pernah baca di buku Collapse-nya Jared Diamond (2011). Ia menyoroti punahnya bahasa tradisional yang diikuti punahnya pengetahuan.

Sederhananya, Cok mencontohkan kata “jamblang”. Jamblang/dhuwet/juwet, nama buah yang mulai langka. Sebab buah itu memang buah kampung. Karena buah langka, kata itu pun menjadi jarang diucapkan.

“Coba ucapkan kata “jamblang”. Maka kita akan mengingat bagaimana mulut jadi biru ketika memakannya, bagaimana rasanya, dan belum lagi nutrisinya,” kata Cok.

Lebih ekstrem ia menjelaskan, bagaiaman jika kata “air” jarang diucapkan sebab kita lebih sering mengucapkan kata “Aqua” (merek air kemasan).

Perjalanan ke California memang tidak berhadapan dengan tradisi Bali secara langsung bila tajuknya adalah Pergi Mencari Tradisi. Tetapi pemaknaan perjalanan itulah yang didapat oleh Cok bahwa ia “menemukan” kembali akar tradisi di sana.

Di beberapa kesempatan, kunjungan pada tempat yang biasa, ia bisa menemukan “peristiwa kata”, bagaiama ia kembali memaknai ekspresi estetika yang beragam. Dari sanalah akar rasa bahasa bermula yaitu bukan pada bentuk, tapi berakar dari “rasa”. Mungkin ini agak susah dijelaskan bahkan dengan kalimat di sini. Saya pun susah untuk mengurai, meski saya bisa merasakan.

Kris Budiman menegaskan tentang pentingnya mencari jarak pada tradisi agar menemukan kembali tradisi itu, sebagaiamana yang dilakukan Cok.

Pada akhirnya, perjalanan yang bermula dari memberi jarak terhadap diri sendiri (baik itu tradisi maupun diri kita sendiri), sesungguhnya adalah mencari jarak terdekat dengan diri sendiri.

Puyeng ya? Sudahlah. Jalan-jalan sajalah. Mari mengembara J

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *