Surat ini berkali-kali dibaca Opseter muda. Kemudian, disekanya surat itu lurus-lurus, kemudian ditaruhnya antara halaman 960 dan 965 dari buku pelajaran filsafatnya yang paling tebal, buku kesayangannya. (Halaman-halaman 961, 962, 963, dan 964 hilang lepas dari jilidannya, persis halaman-halaman yang menyudahi bab tentang etika).

Paragraf di atas dari novel “Ziarah” karya Iwan Simatupang yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Djambatan pada tahun 1969. Cara yang “tengik” untuk mengritik tentang orang-orang yang kehilangan etika. Etika, tentu bukan perkara salah atau benar, bukan pula soal melanggar hukum atau bukan. Etika adalah sebuah postulat sederhana untuk sekadar menjadi manusia. Manusia yang punya etika.
Pertanyaannya, apakah masih perlu pada zaman ini? Zaman ketika daya survival lebih dibutuhkan untuk hidup daripada sekadar “remeh temeh” melankolia sebagai manusia yang berhati dan dihinggapi rasa. Apalagi cinta. Bah!
Balas dendam. Siapa yang tak ingin? Frasa itu tentu yang terlintas pertama kali ketika kita disakiti. Ya, sayang, kadang kehidupan tak seindah Sinetron Indonesia. Ketika ditinggal mantan yang seperti kecoa (istilah sahabat saja, sebut saja Uphie Palupi-bukan nama sebenarnya), lalu dapat Nicholas Saputra. Atau ketika dihina miskin, langsung dapat kenaikan harga koin crypto currency sehingga langsung bisa ke pasar bawa Ferrari.
Realitanya: ketika disakiti, maka aktivitasnya tidak sinematik. Scroll di medsos, sekadar mencari bahu untuk bersandar ketika baju jalan begitu banyak ditrabas saat pulang kantor. Di dunia maya, mencari kata-kata yang relate dan menguatkan. Hati tertambat pada banyak kata-kata mutiara dan meme maha bijak yang mengatakan: balas dendam terbaik adalah menjadi keren setelah ditinggal mantan. Balas dendam akan mengotori hati, maafkanlah meski tidak melupakan dll.
Oh, tentu tidak sesederhana itu. Seperti Bapak Walikota dalam “Ziarah”, balas dendamnya pada masyarakat yang menyebalkan adalah lintasan pikiran untuk membumihanguskan dari dunia ini. Manusiawi!
Sama juga, balas dendam Opseter kuburan kotapraja pada Tokoh Kita, dengan menjadikannya tukan cat tembok kuburan istrinya. Harapannya, Opseter akan bisa melihat kesakitan hati Tokoh Kita karena kehilangan yang dalam dengan cari setiap hari “bertemu” kematian istrinya.
Lucunya, Tokoh Kita tak peduli pada skenario balas dendam Opseter (yang dia punya dendam hanya karena punya dendam saja). Tiga hari pertama saat tugasnya mengecat makam, tak terjadi apa-apa dan Opseter kecapekan mengamati (lihat, orang yang punya dendam memang unfaedah, buang-buang waktu). Akhirnya banyak kehebohan yang menjadikan kotapraja heboh karena Tokoh Kita yang tak niat bikin perkara.

Ah, Iwan. Inilah kelebihan Iwan Simatupang (dan saya jatuh cinta pada karyanya). Dia bisa memilih diksi yang satir, lucu, menohok, dan cuek, tetap tak peduli (eksistensialis?). “Ziarah” memang menghadirkan banyak tokoh, karakter balas dendam dari masing-masing tokoh. Tapi satu hal, sesungguhnya kita sedang “menziarahi” diri kita sendiri (yang cita-citanya) sebagai Homo sapiens. Sebuah entitas spesies yang bisa menjadi Homo deus tapi sering jadi Homo homini lupus.
Pada akhirnya, saya bahagia menuliskan catatan kecil ini. Kata meme (sekali lagi tentang meme), tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Setiap hal yang terjadi pasti punya alasan. Mungkin, tak kebetulan ketika tanggal lahir Tokoh Kita sama dengan tanggal ibu melahirkan saya, 50 tahun setelah tahun lahir Iwan Simatupang.
Setiap tahun, pada hari yang sama, saya akan mengingatnya. Kelahiran, tentu hal yang istimewa, setidaknya bagi diri saya sendiri. Dua tahun terakhir, Mas Iwan dari Kakofoni, sebuah kedai kopi mikro di Tulungagung, memperingati hari lahir saya dengan bikin perkara seperti ini.
Dan saya selalu tak bisa menolak sebab saya betul-betul salut pada kecintaannya dengan buku dan literasi. Kalau ada orang yang begitu “nggetih” di Indonesia yang saya kenal, saya akan menyebut dia (selain kanda Muhidin M. Dahlan yang sudah saya kenal lebih dulu). Mungkin bukan kebetulan juga ketika namanya juga Iwan.
Pada akhirnya, Selamat Ulang Tahun, Iwan Simatupang dan diri saya, hari ini…