Bagi saya, Papua adalah enigma. Keindahan ganjil yang selalu dan selalu mengundang saya untuk datang. Saya pertama kali datang ke Papua tahun 2005 di Biak untuk meliput anggrek. Lalu diikuti perjalanan yang lain. Keragaman hayati khususnya flora betul-betul memikat saya. Pengalaman yang membuat saya speechless ketika saya punya kesempatan untuk menyusuri hutan Cagar Alam Pegunungan Arfak, Mei-Juni 2022 lalu. Juga di pinggiran Cagar Alam Cycloop, Jayapura, akhir tahun 2021 dan tempat-tempat lain di Papua. Saya tahu kekayaan ini bukan hanya dari berita, tapi saya melihat sendiri.
Hal itulah yang menjadikan saya kagum dengan sepotong tanah di tempat matahari terbit lebih dulu ini. Namun, hati saya trenyuh ketika kekayaan alam yang demikian melimpah namun tak bisa diakses untuk kebahagiaan hidup masyarakat di sana karena gap pengetahuan.
Ketika saya mengunjungi Distrik Klamono, di hutan yang baru saja dibuka untuk lahan, saya melihat keragaman tumbuhan edibel (yang bisa dimakan). Namun masyarakat di sini kesulitan untuk mendapatkan sayuran dan mahal. Ketika saya ngobrol dengan ibu-ibu di sana, pengertian mereka tentang “sayur” adalah kubis, wortel, dan tanaman C4 lainnya. Tanaman dari sub tropis yang butuh input tinggi. Padahal, di situ ada genjer, paku, dan aneka dedaunan “liar” yang bisa dimakan. Sayuran yang ditumbuhkan Semesta. Banyak sekali. Namun tak ada yang menghubungkan kekayaan itu dengan kebutuhan masyarakat. Pun dengan air.