Kavling Langit (2): Tanah Yang Melahirkan Para Penjelajah

jendelaKamu pernah bercerita tentang tanahmu, Tanah Biru. Tanah yang bersetubuh dengan laut, sifatnya “nyaru” seperti sifat keperkasaan laut. Keperkasaan tanahmu yang begitu memikat, menarik orang-orang-orang bermata biru untuk bertandang. ‘Saya tidak tahu cara menggambarkan dengan pasti. Kamu akan tahu saat berkunjung’.

Tanah yang kebiruan. Biru lazuardi. Pernah kautunjukkan sebuah peta di layar smartphone-mu, sebuah tanjung yang mengapung di kebiruan laut. Dilelapkan oleh kemasyuran para pembuat kapal phinisi.Tanah yang terjaga oleh ketukan kayu dan raungan gergaji. Obrolan seputar lunas, jelajah, dek, hingga larut di warung-warung yang terjaga hingga menjelang fajar.

Cerita tentang keberanian para penjelajah laut. Yang membawa phinisi buatan para panrita loppi , empu kapal, dari Tanah Biru hingga ke Kanada. Kisah tentang para nahkoda yang menentang badai Samudra Pasifik yang bahkan perahu besar pun bisa bertekuk lutut dan lemas. Sementara nahkoda tanahmu, bisa menyumblim ke dalam taifun. Mereka, para nahkoda itu bisa “meniup” taifun. Tahukah ketika taifun sedemikian bandel, maka awak kapal akan menanggalkan semua busananya tanpa tersisa barang selembar, menghadang taifun? Mereka menghentikan taifun dengan meleburkan tubuhnya ke dalam pusaran badai. Bumi para panrita loppi.

Aku menyimpan kisah itu, seperti aku menyimpan dirimu di tempat istimewa dalam ingatanku. Juga petunjuk yang pernah kaukirim padaku, sketsa yang kaucoretkan di atas kertas ala kadarnya itu, kulihat sambil lalu. Karena aku tak pernah berpikir untuk mengunjungi tanah lautmu itu. Seperti sudah pernah kukatakan padamu, aku orang daratan yang tak suka laut.
***
Pada awalnya, hubunganku denganmu hanyalah sebatas hubungan dari kedai kopi satu ke kedai kopi yang lain. Bila kamu sedang perlu di Jakarta, kita cari waktu senggang untuk bertemu. Seperti terhadap kawan lain yang sesekali bertemu di Jakarta yang padat, aku tak tahu benar apa pekerjaanmu. Kukira kamu peneliti, atau aktivis LSM, atau entahlah. Tapi lama kelamaan, aku semakin terpikat dengan apa yang bersemayam di kepalamu. Pengetahuanmu tentang laut yang misterius.
Setiap pertemuan denganmu membuatku seperti bayi yang melihat pagi. Aku selalu mempelajari hal baru dari ceritamu. Mungkin bukan sesuatu yang besar dan epik macam sejarah pelayaran Columbus menemukan Hindia. Atau misi Sawerigading berlayar hingga ke negeri Tiongkok. Epik tanah Nusantara yang menghasilkan kisah para penjelajah itu.
Kadang hal sederhana saja yang kita obrolkan dan memikat buatku. Tentang betapa unik menu jagung rebus di kotamu, membuatku ingin mencoba kelezatannya. Jagung putih varietas lokal yang dimakan dengan sambal. Bagiku, engkau seperti buku tua yang selalu rindu untuk kubaca, dan selalu terlewat satu cerita.
Aku mengingat semua pertemuan kita, seperti anak kecil menyimpan semua mainan kesayangannya. Termasuk obrolan senja itu. Di sebuah kedai kopi, yang mengambang di atap Jakarta. Kamu meneleponku. Mengabarkan kamu sedang di Jakarta untuk beberapa minggu. Aku sedang memotret taman tertinggi di Jakarta, saat menerima teleponmu. ‘Aku tunggu kamu, di kedai kopi tertinggi di Jakarta.’ Jawabku bercanda. Di luar dugaan, sejam kemudian, saat aku selesai motret, kamu sudah menunggu di salah satu sudut kafe itu. Aku tidak tahu, bagaimana kamu bisa sampai secepat itu, menembus Jakarta yang begitu macet usai hujan.
Aroma udara basah dan langit jernih usai tercuci melatari keberadaanmu. Pucuk gedung pencakar langit ada di kaki kita. Kita seperti terbang, mengantarkan obrolan dalam secangkir kopi. Kautahu, kamu terlihat memesona sekali senja itu. Berlatar cahaya keemasan yang menerobos di antara green wall kafe itu, siluet tubuhmu menyala. Sungguh, aku jatuh cinta dengan sepotong keindahanmu.
“Kamu pesan apa ?” Aku menyodorkan buku menu.
“Terserah kamu saja,” jawabmu.
“Di sini ada kopi susu juga. Mau?” Aku jadi ingat katamu, orang di kampungmu punya cara tersendiri menikmati kopi. Selalu dicampur dengan susu dan gula. Mereka menyukai rasa manis sekaligus dapat manfaat minuman susu.
“Eh, sebetulnya mau nyoba yang beda. Di tempatku selalu manis semua. Sangat manis malah,” katamu.
“Kalau begitu, tulis saja di kertas itu.”
“Kamu saja yang nulis, tulisan saya kan jelek.”
“Ah, jadi nggak enak.”
“Memang betul begitu kok.”
“Kamu marah kubilang tulisanmu jelek?”
“Tidak. Memang betul, kenapa harus marah?”
“Karena walau jelek, aku suka tulisanmu,” kataku serius. Kamu angkat bahu dan menunduk. Lalu kauraih kertas itu. Kamu menulis satu cup long black dengan nastar bertabur lada hitam.
“Dua,” kataku
Lalu kamu mencoret angka satu, menggantinya menjadi angka dua.
“Hahaha, memang jelek ya,” ledekku. Kamu hanya tersenyum sembari menuliskan menu itu. Aku suka melihat tawamu yang tertahan sembari menunduk. Aku suka melihat huruf – huruf yang kautuliskan kendati hanya tereja sebagai menu makanan. Dari atas, huruf – huruf itu seperti puisi yang ingin engkau membacakannya untukku sebelum pelayan kafe mewujudkannya menjadi menu.
“Saya sedang menyelesaikan tesis di UI,” katamu.
“Oh, kegiatanmu sehari-hari di Depok rupanya. Jadi di Jakarta cuma singgah?”
“Bisa dibilang begitu.”
Ketika bertemu tempo hari Kai menyebut suatu tempat tapi kukira masih Jakarta. Pantas ia pandai bercerita seakan menguasai antropologi kampung tempat tinggalnya, rupanya selain pendidikannya tinggi, aku menduga penelitiannya juga unik.
“Penelitian tentang apa?”
“Tentang pola pikir kontinental warga pesisir.”
“Kamu antropolog?”
Kamu hanya tersenyum, angkat bahu.
“Saya…hanya warga pesisir. Yang begitu penasaran, kenapa akhir-akhir ini warga pesisir bercerai dengan laut.”
“Maksudmu?”
“Warga pesisir dipisahkan dari lautnya. Di kampungku, para pembuat kebijakannya sudah tidak kenal laut. Pembangunan ke darat semua. Mungkin sama dengan kebanyakan pesisir pada umumnya sekarang ini. Bahkan, mereka tak merasa kehilangan saat orang asing perlahan menguasai laut kami. Pernahkah kamu bayangkan sebuah ironi, di mana suatu hari nanti, kami orang pesisir, harus bayar mahal kepada orang asing hanya untuk sekadar melihat matahari terbenam atau mandi di laut? Mereka banyak membeli tanah kami.”
“Bukannya sudah ada di Undang Undang Pokok Agraria, ada aturan, orang asing tidak boleh memilik tanah?”
“Memiliki dalam artian tertera namanya di sertifikat sih, iya? Tapi apalah arti selembar kertas tanpa kepemilikan sesungguhnya? Apalagi bila sudah kesepakatan bersama antara pemilik tertera dan pemilik sesungguhnya. Kepentingan yang bertemu membuat celah, dan semuanya menjadi mungkin. Selembar kertas ya hanya selembar kertas. Makna sesungguhnya telah hilang.”
Lalu kamu diam, meski matamu masih bicara. Sebetulnya aku ingin bertanya lebih lanjut, tentang penelitianmu itu, tentang duniamu, tentang lautmu terlebih saat kamu serius seperti sekarang. Tapi seringkali aku lebih suka menikmati diammu. Menikmati keindahan di sepasang matamu yang menatap jauh, menembus ruang kita, mungkin pandangan mata itu berbatas di tanahmu. Detail matamu mengingatkanku pada mata gadis Afganistan yang difoto Steve McCurry. Mata bening yang bercerita. McCurry menggambarkan mata Sharbat Gula, ‘Afghan Girl’ itu adalah mata yang merangkum dendam sekaligus kepedihan akan perang yang tak berkesudahan.
Sedangkan sepasang matamu, seperti merangkum pesona nan satir, kehilangan yang dalam, berbatas kebencian yang dialamatkan entah kepada siapa. Tentang pesona itu, sesekali kuterjemahkan sendiri warna-warna yang terpancar di sepasang matamu. Pemaknaan sepihak yang mungkin hanya untuk kebahagiaanku sendiri. Tanpa verifikasi. Tapi perlukah? Lepas dari itu, bagiku, matamu seperti gelombang laut yang menyeretku ke pelayaran nan menantang. Seperti passion-ku saat memotret di kawasan konflik.
Apalah arti sertifikat selain hanya selembar kertas? Kalimat itu membawaku kepada keindahan Suluk Centini yang diterjemahkan Elizabeth Inandiak. ‘Empat Puluh Malam Satunya Hujan’. Tentang memaknai topeng. Tari topeng yang dipentaskan untuk perkawinan Panji dan Kirana di negeri tua bernama Kediri. Semua gerak tarinya bertopeng. Tak seorang penonton pun mengindahkan penari di balik topeng, semua menyayangi topeng dan bahasanya. Bila lakon yang dipilih menyedihkan, mereka sangat perasa.

Menangis karena menganggap topeng itu kenyataan.
Begitu pertunjukan usai, topeng bercerai dengan wajah penari, tergeletak diam dan tergeletak menjadi sepotong kayu biasa. Yang tersisa hanya bentuknya. Ia lalu kembali ditata di tempatnya, tidak lagi dipuji atau dicerca, sebab ia tidak lagi bisa bicara. Seperti selembar setifikat yang tak lebih hanya selembar kertas. Begitu, Kai?
Senja itu,
Di sebuah taman yang yang mengambang di langit kotaku
Kita pernah berbincang di sana
Kamu bercerita tentang cara menghitung garis angin pesisir
Aku bercerita entang cara merawat helai demi helai daun di kafe itu
Agar tak perlu ada yang terluka
Saat sebuah kemegahan dibangun
Sebuah taman
Sebuah cerita
Pada senja yang batal menjadi jingga
Tetaplah di sana
Di sebuah jendela yang akan selalu kubuka
Walau akan menjadikanku masuk angin
Tapi bersamamu
Aku suka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *