Teks: Prasto Wardoyo/Foto: Titik Kartitiani
Dijuluki Little Texas, hanya karena sama-sama sebagai ladang minyak. Tetapi Wonocolo beda. Rig yang menjulang tak terbuat dari menara besi sebagaimana di Texas, tapi dari kayu jati. Tak ada pompa angguk, minyak dipanen dengan sentuhan langsung dari tangan para penambang. Tak ada mesin canggih di sini.
Di Jalan conblock yang berkelok itu, hilir mudir rengkek (sepeda motor yang memuat jerigen) mengangkut solar. Aroma minyak bumi mengikuti laju sepeda motor yang melintas seakaan tak henti. Sepeda motor yang memuat 5 jerigen besar itu menempuh perjalanan ratusan kilometer jauhnya, dari Desa Wonocolo dan Desa Dangilo, Kecamatan Kadewan, Kabupaten Bojonegoro menuju Jombang, Surabaya, bahkan menyeberang sampai Madura. Keberadaan rengkek adalah realitas ketika tanah Wonocolo masih memuntahkan minyak mentah yang dianggap sebagai berkah bagi warga sekitar. Minyak yang terus mengalir sejak Belanda menambang pada tahun 1893.
Sebetulnya rengkek sudah dilarang untuk beroperasi ketika minyak mentah hasil tambang tradisional itu mestinya dijual ke Pertamina, sebagai perusahaan yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola sumber minyak di Wonocolo dan sekitarnya. Namun aturan ini agaknya membutuhkan jalan panjang untuk ditaati. Sementara itu ketika Wonocolo masih menjadi nafas bagi para penambang tradisional, pemerintah ingin menjadikan Woncolo sebagai desa wisata. Menurut Budi Agustyono, Sekretaris SKK Migas, desa wisata ini diharapkan akan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan mengelola sumur tua. Harapan lebih lanjut dari pemerintah bahwa tidak ada lagi sumur tambahan selain sumur yang ada sekarang. Menurut data di PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) Aset 4, kini jumlah sumur sebanyak 720 buah.
Agus mengatakan, akan ada beberapa aktivitas yang bisa dilakukan di desa wisata ini. Mulai dari berkunjung ke museum edukasi migas, outbond, bersepeda, mengendarai motor trail, dan juga membeli souvenir berupa kerajinan warga. Ketika datang ke Wonocolo pada bulan April silam, bangunan museum sudah terwujud, tinggal mengisi. Selebihnya adalah perjalanan mengunjungi tambang minyak tradisional dan melihat aktivitas para penambang tradisional.
Jeep merupakan kendaraan yang cocok untuk melintasi jalan tambang ketika conblock yang dilalui oleh rengkek itu berakhir, berganti dengan jalan tanah. Sesekali melintasi hutan jati yang sudah ditanam kembali. Tak serapat hutan alam, tetapi lumayan setelah pohon terpaksa dipotong untuk menggali sumur. Jeep sudah tersedia sebagai fasilitas mengunjungi Wonocolo, dikelola oleh Jeep Community dari masyarakat lokal. Jalan tanah itu membawa pada lanskap perbukitan dengan rig tradisional berbahan kayu berwarna hitam dengan asap mengepul tanda tambang masih bernapas dengan aktivitasnya. Tiang-tiang ini berfungsi untuk menopang pompa minyak.
Di Wonocolo, minyak bumi dimuntahkan dari perut bumi dengan cara manual. Foto-foto yang beredar di internet menunjukkan bahwa timba minyak ditarik dengan tenaga manusia. Ketika kami mengunjungi Wonocolo, penggeraknya sudah mesin. Tetapi jangan dibayangkan sebagai mesin moderen yang mengilap, melainkan truk yang tak bergerak. Mesin truk itulah yang digunakan untuk memberi tenaga timba mengangkat minyak beserta air ke atas. Selanjutnya proses pemilahan minyak dengan air dilakukan dengan menyekop minyak yang mengambang di permukaan akibat berat jenis yang lebih kecil dibanding air. Pun penyulingan hingga menjadi solar pun dilakukan dengan tungku-tungku tradisional, hingga solar mengalir berasap dari pipa kecil yang ditampung di drum. Dari sanalah muatan rengkek berasal. Rengkek yang kita jumpai di sepanjang jalan menuju Wonocolo dan Dangilu, yang tentu takkan dijumpai di Texas sana.