SGA, Buku, dan Jatuh Cinta

Mata saya berkaca-kaca adalah ketika Mas Seno dan Pak Dakhidae bercerita betapa dekat mereka dengan buku sejak kecil, khususnya buku sastra. Sementara imajinasi saya dipenuhi oleh Majalah Trubus angganan dari kantor bapak. Saya melahap bagaimana budidaya rosella, knaf, dan jute sejak belia alih-alih cerita Old Shatterhand. Realistis, hijau, dan sangat agraris.

“Kita kok seperti ronin ya. Menulis sendiri, menerbitkan sendiri, dan saya gigih menawarkan inbox,” kata, atau tepatnya tulis Fidelis R. Situmorang, salah satu kawan di Facebook yang rajin menerbitkan bukunya. Salah dua bukunya saya terima tadi siang. Ronin, antara miris dan semangat menyebutnya ronin soal menerbitkan buku. Apapun, yang jelas, akhirnya buku ini terwujud.

cover FB
Kumpulan cerpen, 16 cerpen, 131 + XV halaman, KKK-Jakarta, Juli 2017

Ide awalnya sebetulnya sudah sangat lama. Tahun 2013-an, ketika saya meminta Bang Idrus untuk membuat ilustrasi setiap cerpen saya. Saat itu saya berpikir untuk menawarkan ke penerbit. Sempat ditawarkan, disetujui, tapi sayang, penerbit itu kemudian gulung tikar. Lalu saya melupakan ide itu meski ilustrasinya (saat itu baru jadi 4), saya simpan.

Sampai kemudian Mei silam, saya sebetulnya ingin menerbitkan sendiri “gombalan” (saya lebih pede menyebutkan demikian), catatan pendek yang serupa puisi dan sudah minta kata pengantar dari Mbak Cok Sawitri pula. Tanya sana sini biaya penerbitan itu, termasuk ke KKK-nya Mas Kurniawan Junaedhie. Oh ya sekadar catatan, saya justru kenal awal dengan Mas KJ, demikian saya memanggilnya, adalah urusan tetumbuhan ketika saya masih menjadi wartawan di Majalah FLONA, tidak ada urusannya dengan sastra.

Demikianlah, oleh Mas KJ dengan bantuan Mbak Endah Sulwesi yang juga menyemangati, akhirnya saya nekad mengumpulkan cerpen itu untuk dibukukan. Justru cerpen, bukan puisi. Beberapa memang sudah pernah dimuat (khususnya di Sinar Harapan, saat itu Bang Sihar Ramses Simatupang, memberi kesempatan penulis pemula seperti saya, untuk mengisi rubriknya). Hanya file yang saya punya adalah file mentah yang ejaannya berantakan. Begitulah, draft awal ini saya kirim ke Mas KJ dan hanya beberapa jam kemudian sudah keluar jumlah halaman.

Editing dan pembuatan ilustrator itulah yang membutuhkan waktu. Sampai kemudian di tengah menunggu, Mas KJ menanyakan soal endorsment. Kami membicarakan beberapa orang yang saya kenal untuk memberi endorse di sampul belakang. Semua saya kenal, hanya saya kemudian memberanikan diri untuk mengusulkan, bagaimana jika kata pengantarnya Mas Seno (Seno Gumira Ajidarma)? Mas KJ setuju, meski saya kemudian butuh waktu untuk memikirkan (tepatnya berani atau tidak) untuk meminta beliau. Saya sungguh tidak pede.

Siang itu, akhirnya saya SMS untuk meminta kata pengantar itu. Rupanya balasannya lebih cepat dari yang saya duga, Mas Seno bersedia! Saat itu juga, saya kirim draf yang sungguh berantakan untuk dibacanya.

Waktu menunggu kata pengantar ini ternyata yang bikin saya malah dheg-dhegan dan ending-nya saya tidak berani menagih. Chicken! Meski ketika saya SMS, Mas Seno selalu menjawab dengan jenaka, “sahabar”. Beliau sibuk, tentu. Apalagi sekarang menjadi rektor IKJ. Masalahnya ternyata bukan itu bagi saya, jangan-jangan Mas Seno berubah pikiran setelah membaca cerpen itu. Begitulah, berbagai pikiran “buruk” muncul.

“Mas Seno itu penulis cepat, tagih saja,” katanya. Sampai akhirnya, ya akhirnya, Mas KJ yang menyelesaikan urusan kata pengantar ini. Mas Seno mengirimkannya dua kali, ada sedikit ralat dari kata pengantar yang berjudul “Jahitan Kata dalam Cerita”. Membacanya, deuuuhhhh…ada 4 halaman. Saya tidak menyangka sepanjang itu dan di sana dituliskan, sebelum menuliskan, Mas Seno membaca semua (tentu dengan ejaan yang berantakan itu). Ah, terima kasih. Sungguh.

Bermula dari Bungkus Tempe

10 sebuah sungai di kota s
Setiap cerpen ada ilustrasi karya Idrus, seniman dari Aceh

Tiba-tiba saya ingin menceritakan, betapa besar arti catatan Mas Seno ini bagi saya. Saya mengenal cerita pendek pertama kali kelas 3 SD. Suatu sore, saya membantu ibu menggoreng tempe. Di bungkus tempe itu, saya membaca sobekan cerita berbahasa Jawa judulnya (masih sangat ingat), “Memo ing Ondho Rante” penulisnya Rimba Lestari dimuat di Jaya Baya. Saya beruntung, sebab cerpen itu menjadi utuh, saya temukan di beberapa buah tempe yang dibeli ibu dan tidak tercecer. Saya membacanya, cerita itu begitu lekat karena kesedihan yang saya rasakan (kelak kemudian, saya betul-betul mengunjungi Ondho Rante ini, salah satu trek di Gunung Lawu).  Itulah perkenalan saya dengan “sastra” dan jatuh cinta.

Perkenalan saya dengan karya SGA ketika kuliah awal. Jadi saya punya “ritual” membeli buku minimal 1 buku setiap bulan. Demi buku itu, saya menabung di kaleng susu dengan mengurangi jatah lauk saya setiap kali makan. Satu bulan terkumpul cukup untuk membeli 1 buku dan kereta Pramex PP Solo-Jogja.

Setiap membuka kaleng susu itu, saya naik kereta ke Jogja, nyetrika Malioboro sendirian, jalan kaki, lalu berakhir di Shopping (sekarang namanya Taman Pintar). Sebab di situ bisa membeli lebih murah 20% dibanding toko buku Gramedia. Sampai kemudian saya punya langganan, Social Agency di Shopping itu. Ibu yang menjual buku itu akan menyimpankan satu buku, untuk saya beli bulan depannya. Begitu seterusnya. Kebanyakan buku yang saya beli tentang lingkungan (saat itu saya jadi Sie Lingkungan Hidup di Mapala KOMPOS) dan buku sastra khususnya Kahlil Gibran dan sastra Rusia. Saya sangat suka Anton Chekov.

Suatu siang, kaleng susu itu sudah saya belikan “Menggadaikan Bumi”, Bruce Rich, sampai saya menemukan kumpulan cerpen SGA “Sepotong Senja untuk Pacarku” di lapak lain (kemudian tulisan SGA dan Iwan Simatupang sangat memengaruhi saya dalam menulis cerpen).

Saya lupa berapa ditawarkan, tetapi uang saya kurang sedikit. Kalau saya belikan, cukup, hanya saya tidak bisa beli tiket kereta untuk ke Solo. Saya baca sampul belakangnya, saya tidak kenal penulisnya, tetapi saya suka. Senja. Digambarkan seperti apa yang saya bayangkan selama ini.

Saya keliling Shopping, siapa tahu mendapatkan harga yang lebih murah. Sampai ke Social Agency langganan, dia tidak punya. Dia menunjukkan Social Agency di Jl. Solo (dulu dekat Gedung Mandala Wanitatama). Saya diteleponkan untuk menanyakan stok dan harga, ternyata pas dengan uang saya. Daaaan, hal yang sampai sekarang masih saya ingat dan selalu tertawa jika lewat jalan itu, saya pun berjalan kaki dari Shopping ke Social Agency demi buku itu!

Demikianlah, “perkenalan” saya dengan karya SGA. Sejak itu, saya mulai mengumpulkan tulisannya. Tentunya tak semudah sekarang yang bisa Googling. Koin demi koin saya kumpulkan untuk bisa mendapatkan buku. Sampai kemudian saya bekerja di kantor penerbitan terbesar di Indonesia dengan Mas Seno ada di dalamnya. Ini menjadi kisah tersendiri, bahwa Kompas Gramedia kerap mengadakan bazaar buku khusus karyawan. Ketika buku itu digelar di ruangan dan saya shocked, bingung, hingga tidak satu bukupun saya beli padahal saya punya cukup uang dari gaji pertama itu, begitulah (kadang-kadang eh sering saya norak).

Selain buku, saya dulu kerap mengunjungi BBJ meski sebagai karyawan baru, tidak ada seorang pun yang saya kenal. “Pertemuan” pertama dengan SGA di BBJ ketika beliau menjadi pembicara di BBJ bersama Daniel Dakhidae yang bertema Karl May. Di sanalah saya mengenal perjalanan SGA menjadi penulis secara langsung. Pada saat itu, mata saya berkaca-kaca adalah ketika Mas Seno dan Pak Dakhidae bercerita betapa dekat mereka dengan buku sejak kecil, khususnya buku sastra. Sementara saya sejak kecil ketika kawan saya membaca Bobo, imajinasi saya dipenuhi oleh Majalah Trubus dan Informasi Pertanian langganan dari kantor bapak. Saya melahap bagaimana budidaya rosella, knaf, dan jute alih-alih cerita Old Shatterhand. Realistis, hijau, dan sangat agraris.

Tidak ada yang saya sesali, hanya betapa bahagia Mas Seno dan Pak Dakhidae ketika buku mereka banyak.Itulah yang membuat mata saya menghangat pada saat itu. Begitulah, saya memang cengeng untuk hal-hal yang mestinya tidak untuk haru biru.

Dalam perjalanan waktu berikutnya, sampai suatu hari, Mas Seno pernah secara status bermeja di Intisari, sebelahan dengan redaksi Flona. Dulu sempat duduknya bersebelahan dengan Mbak Christ (Christantioawati). Saya suka mengunjungi meja uniknya, meja yang ditumbuhi beringin yang menaungi komputernya. Serius, beringin! Di dalam pot. Sementara meja Mas Seno penuh dengan gunungan buku dan monitor penuh tempelan post it. Mbak Christ suka tertawa keras sementara Mas Seno sangat senyap, kecuali suara tuts key board-nya.

Bila ada hal yang perlu saya tanyakan, saya mengunjungi mejanya, kadang meminjam bukunya untuk referensi menulis. Hal yang saya kagumi adalah kesenyapannya dan ketekunannya dalam mempelajari apapun sampai “akar-akar”nya, siapapun sumbernya. Tak segan Mas Seno menelepon saya (siapalah saya ini, coba) ketika sedang menulis soal flora dan fauna. Saya ingat ketika tiba-tiba Mas Seno menelepon dengan kalimat ini:
“Saya lagi di Banda Neira. Melihat burung warna biru, apa ya namanya?”
“Ada fotonya, Mas?”
“Ya ngga ada, Cuma wussss gitu, terbang.”
Deuuuh

Dan ketika Mas Seno menulis rubrik bahasa di Tempo tentang “ubah” vs “rubah”, saya mengirimkan scan buku soal rubah hingga kontak pada perkumpulan pecinta musang Indonesia. Bayangkan, hanya demi secuil fakta soal “rubah” (fox), demikian panjang checked list-nya.

Mas Seno mengumpulkan apa saja, buku tentu saja, kliping, catatan, hingga bungkus rokok pun dikumpulkan (ini bisa dilihat di kumpulan editorial “Surat dari Palmerah). Apapun adalah momen yang bisa ditangkap untuk dihayati dan dituliskan, termasuk bungkus rokok.  Saya suka kutipan ini:

“Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia (Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara)

Demikianlah, akhirnya buku ini hadir. Perjalanan tak hanya sampai selesai cetak, karena saya pun kemudian berhubungan dengan para pembaca langsung. Ada hal yang serasa personal, bertemu kembali kawan-kawan lama yang memesan buku. Memang effort-nya lebih, tetapi sungguh menyenangkan. Apalagi saya dibantu oleh kawan yang meluangkan waktunya untuk mencetak alamat pengirim, memasukkan ke amplop, dan mengirimkannya ke pembaca. Terima kasih, Mas Prasto Wardoyo. Saya tak sendirian, menjahit hujan…

Catatan:
Bila ada yang berminat untuk memesan buku ini, silakan WA ke OCULAR (0812 1619 705) dengan ganti ongkos cetak Rp 50.000,- belum ongkos kirim.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *