Nada Karat Tembaga

senja di tanah abangAku dengar nafas angin terhisap pelan, seperti berbulir – bulir udara menjelmakan wujudnya. Mereka menari dalam bilah diafragma lantas meluncur gemulai dalam serutan notasi. Setubuh nafas mengalir di rahim flute warna tembaga. Pagi pun lahir dengan konser yang sedemikian megah. Udara menjelma tahta di bibir itu.

Wajah kelabu itu ada di balik tirai gerimis yang kepagian. Lekat dan dekat. Ada bilur usia melipat kulit mukanya. Ada rambut perak jejak pesona masa silam. Lelaki itu berdiri mengambang di awal hari. Sepagi ini sudah ada pengamen ? Batinku setengah merutuk. Kuurungkan niatku untuk menyingkap gorden kamar bersamaan dengan logam panjang  itu menyentuh bibirnya.

Langit yang muram menjadi  bening. Gerimis seakan tersibak memberi jalan bagi nada – nada itu melangkah ke telingaku. Dibisikannya senandung pagi sang musafir yang mengenang perjalanannya. Perjalanan tentang kemegahan masa silam.

Nada – nada oktaf rendah yang dimainkan dengan jernih itu seperti memanggil fragmen yang telah lama ingin kukubur. Kini kakiku ringan melangkah dalam satu garis lurus. Ya, aku kembali melangkah di atas catwalk. Berpasang – pasang mata menghujam lekuk tubuhku. Meneliti setiap helai rajutan benang yang kukenakan, karya desainer ternama. Wajah – wajah iri sang permaisuri metropolis yang menghunuskan pedang seperti gemerincing di sela sepatu hak tinggi yang kukenakan.

Lihatlah, aku bukan hanya memeragakan busana. Tapi aku memberi nyawa pada setiap desain yang kukenakan. Mereka hidup, mereka merayu, mereka merengkuhmu. Dan aku, selalu melayang menjadi bidadari ke tujuh yang selalu ditunggu di ujung pelangi. Ketika desainer menggamit lenganku. Kami melangkah maju menuju horison. Menunduk takjim pada hadirin yang siap melontarkan uang tanpa nomor seri demi baju – baju itu. Yang jujur kuakui, kadang hanya indah untuk dilihat. Lalu tepuk tangan menggema. Sayapku mekar membawaku ke lapisan paling angan. Membumbung tinggi, semakin tinggi. Ketika tanah sudah tak kupijak, kesenyapan menyergap kesadaranku. Irama flute itu sudah tidak ada.

Ketika kubuka gorden, lelaki itu masih di sana. Berdiri dengan dada naik turun. Untuk sekedar mengambil udara yang gratis saja sudah begitu susah. Pelan kulangkahkan kaki keluar dari ruangan.

“Bermainlah terus, kumohon,” kataku sambil mengangsurkan segelas air putih. Lelaki tua itu menerima gelas itu, lantas meneguknya tandas di sela napasnya yang satu – satu.

“Terima kasih. Tapi saya harus ke tempat lain kecuali…”katanya ragu

“Nanti saya bayar sejumlah uang yang kira – kira Bapak dapatkan  selama di sini,” jawabku hati-hati. Sepasang mata itu berbinar. Mata yang menurutku seperti halaman usang buku sejarah. Ia pun kembali memainkan flute berkarat kekuningan. Ia pun memainkan kembali perannya sebagai peraga masa silam.

Sudah lama sekali aku tak mengunjungi kenangan itu. Saat dimana kilatan kamera menjadi cahaya. Namaku seumpama impian para penggemar. Dunia seakan tak berputar tanpa kehadiranku. Kemanakah semua itu ? Di depan cermin, aku melihat seorang perempuan yang berwajah kuyu menatap gelap. Kemanakah sepasang mata kejora itu ? Cermin pun menunjukkan sketsa tubuh. Masih langsing, tapi bukan terbentuk. Lebih tepatnya kurus karena beban. Siapakah makhluk itu ?

“Lanjutkan kuliahmu, Re. Dunia hiburan itu hanya kemewahan sesaat. Kalau sudah ada saingan yang lebih muda, mau dibayar murah, kamu akan tersingkir,” kata Ibuku saat namaku sedemikian bersinar.

“Aku merasa hidup bila berjalan di catwalk, Ibu. Aku merasa menjadi seseorang ketika nama negeri ini disebut dengan bangga di pesta model dunia. Ibu dengarkan, lagu Indonesia Raya berkumandang megah menggetarkan Patung Liberty. Itu Indonesia, Ibu,” jawabku dengan dada mekar, dagu mendongak. Sementara Ibuku melihatku seperti melihat hantu.

***

Hantu itu nyata adanya. Bertubuh managerku, berhati neraka datang dengan raut muka yang tak pernah bisa kukira. Bahkan dalam mimpi buruk sekalipun. Ketika tangan kasarnya meraih kilau busana yang baru saja kukibarkan pesonanya di balairung yang masih menyalakan kembang api. Menanggalkan satu demi satu tanpa peduli usahaku untuk mencengkeram helaian benang yang tersisa. Tubuhku roboh di balik panggung. Punggungku menyatu dengan lantai. Kesadaranku luruh dalam gelap.

Aku lupa bagaimana Merah Putih pernah berkibar dalam genggaman tanganku. Indonesia Raya mengalun dengan kesucian perawan bangsa. Yang kutahu aku meniti pilihan yang tak lagi muda.

“Masih banyak model yang lebih muda, lebih cantik, lebih seksi mengantri di belakangmu. Pilihan ada padamu,” suara hantu itu tak memberiku pilihan. Hari demi hari, bulan menggulung awan, aku tak ubahnya seorang pelayan tubuh dengan upah yang sangat rendah. Bahkan merendahkan moral.

Tak hanya jasad yang kugadai demi gemerlap catwalk. Hati pun aku pertaruhkan, rasapun kubekukan. Bagaimana aku harus menghadapi istrinya yang sebening Putri Salju yang didongengkan ibuku. Apakah aku tega membunuh burung phoenix yang tak berdosa, hanya demi bulu penghias mahkotaku.

“Pejabat-pejabat seluruh negeri yang datang menghadiri pernikahan sang putri tidak melihat perhiasan (mahkota) apa-apa di atas kepalanya, namun hatinya yang baik membuat sang Putri Salju tampak semakin menggugah hati. Lalu aku tertidur di dekapan masa kecil. Aku ingin terus tidur.

***

Lalu kudengar Hpku menyalak nun di balik tembok kamarku. Aku tergeragap. Telepon dari kantor. Sementara flute itu sudah lama tak menghasilkan nada. Lelaki itu menatapku, perih rasanya. Aku bergegas memenuhi janjiku, membayar sejumlah uang. Ia pun bergegas menerima. Punggungnya pelan menjauh, membungkus kenangan yang baru saja lewat. Lalu aku menjawab pertanyaan seputar pekerjaan. Hari pun terjaga dan gegas, tak akan ada yang istimewa.

Mobilku menembus macet. Berbelok ke kedai makanan siap saji, memesan burger take away dan makan sambil menyetir. Sampai kantor, belum sempat memeriksa email, banyak sekali pose it dari Andrea, si bos. Yang kesemuanya adalah jadwal untuk ketemu banyak relasi yang berhubungan dengan web design, perusahaan dimana aku bekerja.

Klien itu, satu demi satu, orang demi orang, rencana demi rencana, yang kesemuanya menguras energiku hingga hampir layu. Hingga klien terakhir, dari perusahaan yang tak terkenal. Lengkap sudah lemas badan ini. Baiklah, aku tunda sedikit waktu. Barang seperempat jam, untuk melepaskan otot yang kaku. Bahkan burger yang tadi pagi kepesan, tak sempat kuhabiskan. Belum sempat aku menelan suapan terakhir, ia sudah berdiri mengetuk pintuku. Pelajaran untuk tidak menyepelekan orang.

“Selamat sore, Pak. Maaf membuat Anda menunggu, silakan duduk,” kataku dengan nada merasa bersalah. Sebelum kujabat tangannya, wajah itu membuatku beku. Kurasa, Tuhan jarang sekali menciptakan wajah yang sama persis. Tapi wajah klien di depanku ini sama persis dengan lelaki yang memainkan flute tadi pagi, hanya ini versi mudanya. Sejenak aku seperti menembus lorong waktu si pemain flute tadi pagi. Terlempar ke masa 20 atau 30 silam yang mendapati rambutnya yang legam tak kelabu. Dimana dia adalah pemain flute yang digilai banyak telinga dengan pesona bibir tipis dan mata dalam menatap tajam. Samar masih kudengar, nada minor yang ia mainkan tadi pagi. Bagaimana bisa ? Aku mulai meragukan pandanganku. Benarkah tingkat lelahku sudah sedemikian akut ?

“Anda baik – baik saja ?” tanyanya. Buru – buru aku menyempurnakan dudukku, berusaha membuat wajahku untuk nampak kuat. I’m profesional, bisikku.

“Ya, baik tentu saja. Em, maaf…Bapak mengingatkan saya pada seseorang,” kataku lugas.

“Oh, ya ? Semoga bukan orang jahat,” ujarnya sambil terkekeh.  Harusnya dia memang bukan orang jahat, karena pekerjaannya mengubah lempeng – lempeng gersang jadi hijau. Mendesain ulang bentang alam yang terusik pembangunan gedung menjadi panorama yang manusiawi. Mengingatkan kembali keharmonisan sketsa yang telah Tuhan gambarkan di muka bumi ini.

“Tak hanya bentang alam, saya juga mendesain rumah tinggal. Anda mau lihat karya saya ? Ah, ya…harusnya memang Anda melihatnya.” Lantas ia menunjukkan foto – foto karyanya. Walau aku tak paham dengan arsitektur lanskap, tapi kurasa karyanya sangat bagus.

“Lalu itu apa ?” tanyaku menunjuk pada beberapa lembar kertas yang sedari tadi ada di sampingnya. Sejenak dia ragu. Menatapku lama, lalu tersenyum.

“Ah, ini proyek impian saja. Hadiah untuk seorang kawan SMA, rencana desain rumahnya.”

Dengan hati – hati sekali, ia membuka lembar demi lembar buku sketsa itu. Lalu dijelaskannya tentang artwork berbentuk lingkaran yang terbuat dari jalinan kawat tembaga. Stilasi sebuah kamera. Dengan kristal berkilauan di setiap lekuknya. Megah. Lalu ada keping batu yang seakan melayang. Disangga oleh kaca transparan yang menjadikan batu itu seringan kapas. Melenyapkan berat hingga batu – batu itu ringan tanpa beban. Keringat itu muncul di dahinya seperti embun pagi hari. Aneh, ruang ber-AC kok bisa sampai keringatan.

“Oh, saya suka batu – batu ini. Anda hebat sekali,” ucapku spontan. Dia menunduk, lalu menghela napas.

“Ah, thank. Emmm…ya, batu itu seperti penggemar yang bertemu dengan idolanya. Hatinya pasti melayang – layang.”

“Kawan atau kawan ?” tanyaku jahil. Dia tersipu dan tertunduk. Ah, jawabannya benderang. “Artis ?”

“Model terkenal. Karenanya saya harus melupakannya.”
”Kenapa ?”

“Karena dia sudah terkenal. Saya sudah tak lagi mengenalnya, apalagi dia mengenal saya .”

“Tapi percayalah, dia pasti suka sekali dengan desain itu. Karena sesungguhnya dia membutuhkan sahabat yang melihat dia bukan seorang terkenal. Yang melihat dia seperti dirinya, baik saat bersinar maupun kelak…jika redup.”

“Bagaimana Anda tahu ?” kata itu muncul begitu saja. Ada yang aneh, tapi aku tak paham apa itu. Kenangankah ? Sudahlah, kenangan tak bisa mengenyangkan perut, apalagi di negeri ini. Bahkan kenangan akan kejayaan masa silam, yang pernah meniupkan harum puspa bangsa ke negeri seberang. Kenangan hanya bertahta di keindahan. Sementara negeri ini tak lagi menyisakan secuil kavling, pun yang tipe subsidi. Lebih baik menyimpannya dalam kotak, dan jangan pernah dibuka lagi kalau kau tak ingin kelaparan. Kini irama yang dulu merdu, seakan tidak tempat untuk mengalunkan nada – nada. Pun nada renta yang telah tersepuh karat warna tembaga.

“Oke, baiklah, kami akan berusaha membuat desain yang terbagus untuk Anda. Semoga kerjasama ini berlanjut,” kataku. Diapun mengemasi kertas – kertasnya. Sebelum ia menutup lap topnya, seakan teringat sesuatu.

“Bisakah ada musik dalam web itu nanti ?”

“Oh, tentu. Musiknya seperti apa ?”

“Ini, saya ada MP3-nya.” Klik. Alunan flute. Aku beku.

***

Di meja front office, lelaki itu itu berdiri kaku. Bergeming. Lalu dengan mantap, ia memberikan map kepada resepsionis.

“Maaf, Mas, ini untuk siapa ?”

“Em, simpan saja untuk Anda. Yang seharusnya punya memang benar – benar sudah lupa.”

Lelaki itu pergi, tak menoleh lagi.

(Dedicated to the X-otic Garden team, you always have something new, I’m flushes with in)

Note: Dimuat di FEMINA, Januari 2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *