Dinding Merah Dengan Lukisan Bunga Putih

dinding merahTiba – tiba saya menemukan dinding merah itu lagi. Tidak sengaja. Di sebuah pameran lukisan, jauh dari kota kita. Saya tidak menyangka, ada sepotong dinding yang sama persis dengan dinding kamarmu yang pernah menjadi ruang kita. Dinding merah yang kita bikin berdua dengan sisa cat gapura 17 Agustus. Sebenarnya itu kegiatan yang tak masuk akal bagi saya waktu itu. Kamu masih ingat bukan ? Saya masih, sangat.

“Masih ada sekaleng kecil, rasanya cukup untuk menutup dinding usang itu,” katamu.

“Merah ?”

“Putihnya habis,” jawabmu.

“Hanya itu ?”

“Merah itu perlawanan”

“Pada apa ?”

“Pada yang harus dilawan”

“Apa itu ?”

“Semuanya. Mengapa, kamu tidak suka ?”

“Saya suka merah”

“Mengapa ?”

“Hemmm..alasannya sederhana. Karena sejarah”

“Sejarah ?”

“Suatu hari, saat lebaran, ibuku membelikanku baju lebaran. Warnanya merah. Saat mengenakan, saya merasa sangat cantik dan ah…seksi. Saya tidak tahu, kalau harga baju merah itu teramat sangat mahal”

“ O, ya ?”

“Ya, karena ditebus dengan menjual dirinya. Karena ibu sudah tidak punya barang lagi untuk dijual. Ah, mungkin ini sulit kamu mengerti. Kamu yang dilahirkan dari orang tua yang kecukupan”

Sunyi. Di luar sana gerimis. Beberapa bulirannya mampir di rambutmu. Karena atap kita bocor. Tapi tidak mengapa, justru aku suka. Kamu nampak indah sekali. Keindahan yang menderitakan.

“Merah memang akan selalu terlihat seksi di tubuhmu,” komentarmu. Entah memuja atau menggoda. Lalu kita memulai pekerjaan tak sengaja itu. Memindahkan buku – bukumu, menutupi lantai dengan koran bekas agar tidak ternoda. Lalu kita mengoleskannya dengan kuas kecil.

“Ini pasti akan lama,” keluhku.

“Bukannya memang kita punya banyak waktu. Kita tidak buru – buru.”

“Tapi kamu harus menyelesaikan lukisanmu.”

Kamu diam. Menatapku lama, sangat lama. Hingga aku beku dibuatnya. Tiba – tiba kamu memelukku. Aku merasakan seperti dipeluk luka yang teramat dalam. Sangat dalam, sangat perih. Lebih perih dari rasaku dilahirkan dari rahim perempuan yang menjual diri. Tiba – tiba aku merasa sembuh dan baik – baik saja. Koyak harga diri pulih hanya dengan pelukanmu ? Tiba – tiba kamu menjelma malaikat perajut luka. Berlebihan ? Ah, tidak ada sayap di punggungmu. Simpan saja sebutan malaikat barusan. Kamu lelaki biasa, yang kemudian menunduk, sibuk mengenambahkan air ke dalam kaleng. Agar jangkauan sisa cat itu masih bisa menutup dindingmu. Minimal satu sisi yang tertutupi.

“Kamu harus menyelesaikan lukisanmu,” kataku mengulang.

“Aku memutuskan untuk tidak meneruskan.”

“Kenapa ?”

“Aku tidak bisa”

“Kenapa ?”

“Aku tidak bisa.”

“Tapi harus ada alasannya”

“Tidak ada alasan. Akan ada tiba saatnya.”

Kamu sibuk memerahkan dindingmu, aku sibuk terpaku memandang sketsamu. Tak jauh dari situ. Sebuah kanvas terbentang, nampak murung dan nelangsa. Bukan kah beberapa hari lalu, kamu begitu semangat dengan idemu itu. Menggambar keindahan perempuan seperti warna negeri. Dengan petak – petak sawah menghijau dalam rona merah matahari terbenam. Juga bangau putih yang serentak mengepakkan sayap, terbang ke ranah impian paling mimpi. Kau bawa aku di setiap sayap – sayap yang tak bisa kukenali.

Saya bukanlah dari golongan pemikir hebat seperti teman – temanmu. Saya hanyalah perempuan biasa yang tiba – tiba terpesona dengan labirin keunikanmu. Mengendap – endap mengagumimu di saat kamu tidak melihatku. Saat engkau mendongak dan memergokiku, aku pura – pura melihat ke arah langit yang sebentar lagi kelabu. Lalu kamu memintaku untuk menemanimu menyelesaikan lukisan itu. Tidak muluk – muluk mengharapkan diriku jadi model lukisanmu. Hanya setiap sketsa cat warna hitam yang kau goreskan, selalu engkau lihat diriku. Rambutku, mataku, wajahku lalu tubuhku. Kaugenggam sebentuk persepsi asing untuk menapaki labirin itu.

Ternyata saya tidak punya keberanian lebih dari itu. Saya hanya perempuan biasa – biasa saja yang berbaju norma dan berbalur doa sederhana ibu saya. Ironis memang. Bagaimana ibu saya bisa minta Tuhan untuk menjaga kesucian saya. Menjaga kehormatan seorang perempuan hingga akhir lajangnya. Mungkin Tuhan tertawa, tapi tidak marah. Ibu hanya ingin saya bisa menikah dengan lelaki berdarah daging tanpa difinisi rumit dan berbelit – belit.

Sementara kamu, habis kata untuk mendefinisikan dirimu. Karena engkau hadir di setiap sel imaginasi yang paling imaginatif. Hingga saya tak pernah berani mengakhiri mimpi panjang kebersamaan itu. Bahkan untuk menanyakan seperti apa arti saya terhadapmu hanya mampu dengan retorika macam ini,

“Apakah saya jatuh cinta padamu ?” tanya saya waktu itu. Pertanyaan bodoh yang membuat tawamu muncrat tak bertepi.

“Haruskah aku jawab ?”

“Saya tidak tahu.”

“Bagaimana jika aku balas dengan ciuman saja ?”

Ah, pada bagian ini, saya tidak mau menceritakan. Karena terlalu pedih bila lantas saya melihat lukisan ini. Lukisan seorang gadis berkebaya di bawah bunga putih. Jelas bukan saya, karena saya tidak pernah suka bunga putih. Duduk anggun mengurai rambutnya. Tiba – tiba saja lukisan ini menjadi besar sekali artinya bagi saya. Setiap kuntum bunga putih yang menaungi gadis itu seperti mangkuk kenangan yang tersimpan rapi dalam rak hatiku. Umpamanya seperti yang kamu ceritakan tentang lukisan Madonna di National Galerry, Perugia. Kota yang katamu tempat untuk menikmati puisi dan jatuh cinta.

“Seorang pemandu mengajariku cara menikmati karya Robert Begnini. Fokuskan hanya pada satu hal dari lukisan ini setiap kali. Perhatikan wajah Madonna, kemudian matanya, bibirnya, rambut keriting keemasan dari kerudung berenda. Tidakkah Anda melihat sang pelukis jatuh cinta padanya ?” katamu mengenang sebagian perjalananmu.

“Lalu kamu bisa melihat lukisan itu dengan hati Begnini ?” tanyaku

“Kamu cemburu ?”

“Hahaha, sungguh aneh. Mengapa saya harus cemburu hanya gara – gara lukisan bahkan yang tidak aku kenal ?” jawab saya tergelak. Lalu aku diam. Benarkah aku tidak cemburu ?

Rasa yang sama persis, hadir di depan lukisan ini. Saya bisa melihat tiap helaian rambut perempuan itu, matanya yang menunduk anggun, bibirnya, semuanya, tidakkah pelukisnya jatuh cinta pada perempuan itu ? Bagaimana saya bisa menangis tersedu sedan di depan lukisan yang bahkan saya tidak tahu siapa pelukisnya. Lukisan yang diletakkan di dinding merah. Yang mungkin hanya karena serupa dengan dindingmu kala itu. Kurasa ada yang tidak beres dengan diri saya jika saya masih memikirkanmu dan lukisan yang tak pernah kamu selesaikan itu. Dan kamu memang berjanji untuk tidak menyelesaikannya.

“Sungguh aku jatuh cinta dengan negeri ini. Besar cintaku hingga aku tak bisa melukisakannya.”

“Walau hanya dalam simbolisme seorang perempuan ?” tanyaku

“Ya”

“Mengapa ?”

“Biarkan kanvas itu menjadi negeri yang tidak pernah selesai”

Mungkin saya tidak akan pernah paham dengan kesendirianmu yang tiba – tiba itu. Sama halnya ketidakpahamu ketika kamu tiba – tiba diam mematung. Di depan buku – bukumu. Di depan kanvasmu yang kamu biarkan menunggumu. Sambil menangis kelu.

Kamu memang segenap impian yang aku tuliskan dalam angan – angan. Tapi kamu bukan lelaki yang diharapkan untuk menjadi suami. Seperti pesona Everest, kamu kemilau menantang ambisi tapi tidak untuk mencintai. Tak seorangpun pendaki memilih meninggali. Itulah kenapa saya akhirnya memutuskan untuk pergi. Membawa berpetak – petak rumpun cinta abstrak yang kutanam sendiri. Karena saya tidak paham, engkau paham itu.

Saya sadari, petak – petak itu tak pernah tidak saya rawat. Saya menyiraminya tiap hari dengan doa – doa, semoga engkau selalu terselamatkan. Saya menemanimu di malam – malam larut, walau saya sudah jauh dari ruangmu dan waktumu. Saya juga tidak berharap kamu tahu, tapi saya melakukan itu. Bahkan hingga saat kebersamaan dengan lelakiku yang berdarah daging itu. Tahukah engkau, wahai lelaki rumit ?

****

Aku tahu, kamu akan menemukan lukisan perempuanku.  Kau tahu, aku sudah menunggu lama. Sebagaimana engkau menunggu jawabanku, kalau aku tidak ke-GR-an. Kurasa tidak, karena banyak sekali tanda yang telah engkau tebar. Terlalu banyak malah. Yang membuatku suka gemas, mengapa kamu tidak pernah mengatakannya ? Bukankah begitu ? Ah, melankolis sekali rasanya aku melihat sepasang matamu yang tiba – tiba mengeluarkan air mata di depan lukisan itu. Mengalirlah…mengalirlah. Kalau sudah, nikmatilah goresan telanjang rasaku di bingkai itu.

Kaulihat, kini bukan dengan bingkai – bingkai hitam seperti yang dulu pernah kita susun di ruangan kita . Kukatakan padamu dengan dinding merah berbingkai lukisan bunga warna putih. Kamu pastinya akan bertanya – tanya sejak kapan aku suka merah putih yang pernah mencampakanku pada jurang kegelapan terali besi. Karena tuduhan subversif yang tak pernah terbukti dan tak pernah diadili.

Susah sekali menjelaskan pada orang – orang yang sudah kehabisan kecerdasan itu. Sampai aku lelah dan menyerahkan diri. Tidak melawan, tapi tidak juga diam. Aku tidak pernah membenci tanah ini sebagaimana perawan suci yang dipaksa melacurkan diri oleh manusia bedebah yang seharusnya melindungi. Dari garbanyalah aku dilahirkan oleh cinta yang tak akan pernah salah. Begitu juga cintamu kepadaku, kepada kita. Tidak ada yang salah, hanya tak tepat saja. Akan ada yang banyak tersakiti. Karenanya aku lebih memilih bergulat dengan perempuanku, perawan pertiwi. Walaupun kadang masih suka timbul pikiran iseng untuk mengajakmu minum kopi. Ah, tidak hari ini. Tidak saat perawan pertiwi bersusah hati.

***

‘Galeri tutup pukul 21.00. Perempuan itu menatap lukisan itu sekali lagi. Lalu mengemasi air matanya dalam kantung – kantung kedap udara. Dia berniat membuangnya jika nanti lewat di Bantar Gebang’

Jakarta, Agustus – Nopember 2011

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *