Ceritakan padaku tentang warna, katamu padaku. Maka aku pun bercerita tentang rose. The rose is without an explanation: she blooms,because she blooms . Bukan merah, kuning, atau jingga. Tapi warna sedih, warna bahagia, atau warna jatuh cinta. Engkau tak membutuhkan mata yang sempurna untuk mengenalinya.
Jika kesempurnaan itu adalah bisa membaca warna di pensil warna. Tapi bagiku, kesempurnaan melihat warna jika bisa menerjemahkan yang tak terlihat, terlipat rapi, menjadi warna-warna yang kita sepakati. Warna akan tetap menjadi warna hanya ketika kita menandainya. Seperti warna purnama, yang tak perlu dipulas dengan 24 pensil warna.
Setiap kali melihat bulan purnama yang bulat penuh berkilauan di jauhan, aku selalu ingat dirimu. Mungkin ini romantisme yang berlebihan untuk mengingatmu. Bukan keindahan cahaya bulan yang kuingat, tapi langit monokrom yang begitu kamu sukai. Karena hanya pada langit malam, cahaya bulan, dan bintang yang sesekali tampak, pengelihatanmu “sempurna”. Bisa melihat seperti semua orang melihat. Langit malam hanya menawarkan hitam, putih, dan kelabu, warna yang bisa kautangkap dan kauterjemahkan dengan mudah dengan sepasang matamu. Monokrom yang memberiku banyak warna, bahkan lebih “berwarna” dari bunga-bungaku di toko bungaku.
Seperti makhluk malam, kamu datang ketika toko bungaku akan tutup. Aku akan membalikkan papan “open” menjadi “close”, kamu datang dengan tergesa. Malam itu, sekitar pukul 7 malam, bulan purnama sudah begitu terang menerangi beranda. Kamu berdiri dalam keremangan itu.
“Maaf, saya mau pesan bunga. Untuk malam ini,” katamu.
“Tapi toko sudah tutup.”
“Tolonglah, saya membutuhkannya.”
Aku sangat letih hari itu. Kaki kananku pun sudah mulai nyeri. Bahkan sangat. Ada banyak sekali pesanan yang harus kukerjakan. Kebetulan asistenku juga libur, jadi semuanya kukerjakan sendiri. Pukul 7 menjadi saat yang kutunggu. Toko tutup dan aku bisa menikmati esspreso sambil berselonjor kaki, melihat purnama di atap ruko. Ada roofgarden sederhana di atas toko bunga. Bukan taman yang luas. Hanya terdiri dari beberapa rumpun mawar. Tapi tempat ini selalu menjadikanku “hidup” seperti juga bunga-bunga yang kukenal. Tapi kamu datang.
“Tidak perlu rangkaian bunga yang susah. Yang sederhana saja. Saya hanya butuh bunga untuk seseorang. Ini pertemuan pertama kami. Tolonglah,” katamu.
Bisa saja aku memberi rangkaian hand tigh yang tak rumit. Lima menit selesai dan aku mendapatkan uang dari ketergesaan itu. Hanya saja, entahlah, ada keindahan yang menyusup di mataku. Siluet tubuhmu yang dibentuk oleh cahaya itu menarik buatku. Yang menjadikan aku ingin membuatkan sesuatu yang istimewa. Ah, duhai lelaki yang sedang jatuh cinta.
***
Aku batal membalikkan papan “close”, menyilakanmu masuk ketika mesin esspreso itu berhenti menentes.
“Suka kopi?,” tawarku sambil mempersilakanmu duduk.
“Terima kasih. Lain kali saja.”
“Tawaranku serius kok. Silakan nikmati kopinya sementara saya buatkan bunga untukmu,” kataku sambil memberikan cangkir kecil itu padanya. Dia menghirup aromanya. Bajawa Flores, aroma tanah sehabis hujan yang menenangkan. Berharap debar hatimu karena pertemuan pertama itu mengalun tak terburu-buru. Sehingga bicaramu akan lebih tenang.
Lalu aku menuju ke deretan vas tempat aku merendam ratusan tangkai bunga. Pertemuan pertama, duhai bunga-bunga, katakan padaku, siapa yang cocok untuk menemani laki-laki itu pada pertemuan pertama. Gerbera? Dia menggeleng. Gerbera hanya untuk pertalian yang sudah saling mengerti. Kalau begitu, snapdragon? Dia menolak dengan dahi mengerut. Ah, tentu bukan kamu. Hanya yang begitu dekat akan memahami tanpa bertanya. Rose. Ya, the queen of flower itu yang tertunduk ta’zim menerima tugas ini. Roses, ya kamu. Keindahan yang tanpa penjelasan. Semua perempuan menyukainya. Kupilih warna-warna pastel dengan aksesn merah marun. Sangat umum ketika rose merah adalah lambang jatuh cinta. Hand tigh selesai tak lebih dalam 15 menit. Lalu kuikat dengan pita merah.
“Ini, semoga seseorang itu senang,” kataku memberikan padanya. Kopi di cangkir sudah tandas.
“Wah, terima kasih. Saya tidak paham bunga. Tapi menurutku ini cantik.”
“The rose is without an explanation: she blooms,because she blooms. Mungkin, begitulah cara rose bekerja,” kataku. Dia mengerutkan alis, agaknya mau bertanya. Pertanyaan yang batal terlontar ketika melirik jam tangannya. Aku tahu, ada seseorang di sana yang telah menunggu. Tidak ada yang lebih indah selain malam, purnama, dan seikat bunga. Tidakkah itu sempurna? Setelah dia membayar, dia mohon diri. Kulihat punggungnya menjauh. Ada langkah yang bimbang tapi penuh harapan. Aku senang membayangkan bungaku menjadi pengantar rasa. Semoga indah. Lalu kembali kunyalakan mesin esspreso. Aroma Bajawa kembali tercium. Aromanya seperti seorang ibu, tempat untuk pulang malam itu.
Mungkin, seandainya aku menutup toko tepat pukul 7, bukan 7 lebih 5 karena menunggu mesin espresso itu menyala, kamu tidak akan singgah ke tokoku. Mungkin ke toko sebelah yang lebih menyala. Begitulah, 5 menit yang menjadikan kisah ini punya awal. Karena sejak malam itu, kamu sering datang ke tokoku untuk memesan bunga setiap kali bertemu dengan perempuan itu.
Pertemuan kedua, ketiga, dan selanjutnya. Selalu kupilihkan bunga-bunga berwarna. Karena katamu, perempuanmu itu menyukainya. Bunga, keindahan warnanya yang akan selalu diterima siapa saja. Bahkan yang dianggap warna norak sekalipun, ketika itu hadir sebagai warna bunga, selalu bisa diterima sebagai keindahan. Mungkin itulah kenapa bunga. Karena bunga dihasilkan oleh tumbuhan dengan mengorbankan energi tertingginya. Tak heran, jika tumbuhan perlu banyak sekali nutrisi usai berbunga. Sesuatu yang dihasilkan dengan kekuatan penuh, pastinya akan memberi energi kepada siapa saja.
Sampai kemudian, aku berhenti membuat bunga-bunga berwarna untukmu, setelah malam itu. Kamu datang saat hilal mengurung malam. Bulan sabit yang menandakan kemurunganmu. Seperti kedatanganmu pertama kali, kamu datang menjelang aku membalikkan papan “open” menjadi “close”. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, yang selalu bersemangat. Malam itu, kamu tampak kacau. Wajahmu kusut. Berdirimu tak tenang.
“Aku tidak pesan bunga. Aku pengin ngobrol denganmu. Mengganggu?”
“Oh, tidak. Kebetulan aku sedang mau…”
“Membuat kopi? Buatkan aku juga,” katanya memotong.
“Eh…silakan masuk.”
Dia duduk di bangku dekat jendela, tempat dia pertama dulu memesan bunga. Kunyalakan mesin espresso yang dekat dengan jajaran vas. Sementara menunggu mesin panas, aku merapikan sisa bunga yang berserakan.
“Dia pergi dengan orang lain. Dia memilih orang lain, bukan aku,” katanya tanpa kutanya. Lalu berceritalah dia tentang perempuan itu. Perempuan yang menjadikan harinya berwarna. Seperti bunga-bunga yang kubuatkan untuknya.
“Sebetulnya, aku tidak tahu warna bunga yang kamu buat. Dia mengatakan suka dengan yang merah di antara pink dan putih. Suka dengan gerbera yang kuning dan oranye. Kamu tahu, aku tidak tahu sama sekali semua warna itu.”
“Memang kan laki-laki jarang memperhatikan warna bunga. Hanya memberikan saja.”
“Bukan itu. Aku buta warna.”
Mesin espresso itu berbunyi usai menetes. Desisnya menutup keterkejutanku dari perhatianmu. Kuharap kamu tidak tahu, bila aku terkejut. Bukan apa-apa, takut menyinggungmu. Aku turut sedih, sekaligus takjub. Betapa cinta bisa menerjemahkan warna. Kamu mengenali warna dari perempuanmu itu. Merah di antara pink dan putih adalah warna pembuka, betapa engkau jatuh cinta. Gerbera kuning dan oranye adalah kehangatan yang kaudapatkan ketika menghabiskan malam dengannya. Ya, aku mengingat setiap bunga yang kubuat untuk para pelangganku. Khususnya untukmu. Laki-laki yang membawa scene malam menjadi indah di tokoku.
“Aku tidak tahu mesti mengatakan apa,” kataku jujur sambil memberikan kopi untuknya. Kalau mengatakan yang tabah, akan ada gantinya, dan lain-lain. Terasa klise. Karena aku tak yakin bisa melakukan apa yang kukatakan ketika menjadi dia. Mungkin secangkir kopi sudah cukup menjadikan dia yakin, ada seseorang yang ada saat ia butuh teman. Bukankah hanya itu yang kita butuhkan saat kita jatuh?
Java Jampit. Bold, earthy. Aroma yang membumi. Semoga mengembalikan ingatan pada tanah. Yang rela menjadi tempat tumbuh akar. Yang kemudian menghasilkan warna-warna bunga. Dia sendiri tetap tanah. Tidak ingin menjadi siapapun.
“Aku ingin tahu, siapa laki-laki itu. Siapapun dia, yang jelas dia tidak buta warna seperti aku,” katanya putus asa. Cangkir kopi itu, dibiarkan seperti angin yang enggan menyentuh dahan.
Aku tahu dirinya, yang sangat mencintai perempuan itu, bukan dari cerita yang utuh. Karena dia bukan tipe laki-laki pencerita. Aku hanya tahu dari cara dia menyebut perempuan itu. Dari nada bicaranya ketika menyebut nama perempuan itu. Seakaan tak ada nyanyian termerdu selain senandung namanya. Dari garis senyum yang terlukis ketika ia mengingat setiap pertemuan. Dari sepasang mata yang di sana, dia takkan bisa menyembunyikan bahwa dia sedang jatuh cinta. Semua itu begitu mudah memanggil bunga-bungaku untuk mendatanginya melalui tanganku.
“Aku tidak menyesal. Aku katakan jujur di depan, kalau aku buta warna. Bisa saja aku tak mengatakan lalu kami menikah. Tapi aku tidak mau itu. Aku ingin dia tahu semuanya,” katanya, lebih mirip gumam untuk diri sendiri. Sepasang mata itu, berwarna kecoklatan. Cahaya lampu UV yang kuletakkan untuk menyinari bunga-bunga itu menguraikan warna matanya. Korneanya bukan hanya hanya hitam, tapi ada ribuan warna yang memancar. Keindahan warna kornea yang batal menguraikan warna di kepala. Sehingga tak semua bisa menerima. Termasuk perempuannya.
Tak ada yang tak bisa dikatakan demi cintanya pada perempuannya. Ia bersedia menumpahkan segalanya, bahkan tetes terakhir air matanya, jika itu diperlukan, untuk perempuannya. Hanya saja itu tak cukup untuk menjadi alasan perempuannya untuk tinggal. Aku bisa merasakannya. Ya, aku bisa.
Kutunjukkan padanya. Aku duduk di depannya. Kutarik ke atas bagian kanan ujung celana panjangku. Lalu kulepaskan kaki palsu itu di depannya. Dia terkejut, tapi kemudian tersenyum. Senyum yang begitu lepas. Mungkin karena merasa tidak sendirian. Atau entah. Tapi senyum itu, belum pernah kulihat sebebas ini.
“Dulu aku seorang penari. Penari tango. Tak ada gerakan tak bisa kami lakukan,” kataku. Lalu aku mengingat dia. Yang datang pada acara milonga malam itu. Saat kita menyentuh tangannya, pada gerakan pertama, kita akan tahu, apakah kita cocok berpasangan dengannya. Demikianlah, malam itu, aku menemukannya. Lalu kisah tarian kami berawal. Begitu juga kisah kami. Kisah yang tak pernah kukira, akan berakhir pula di lantai tango. Ketika aku salah melakukan gerakan, lalu membuatku terjatuh. Cidera yang tak tersembuhkan. Sampai kemudian pilihannya amputasi.
“Aku menemukan bunga. Sungguh unik. Ketika aku dirawat, aku mendapatkan banyak bunga dari teman-teman yang mengingatku. Bunga-bunga, ya aku merasa bisa berbicara dengannya,” kenangku. Ada banyak bunga yang dikirim untukku, tapi tak ada satupun yang kuterima darinya. Awalnya, bunga-bunga itu seakan tak berarti. Bukankah begitu rasanya, ketika kita mengingkan seseorang, yang disekitar kita seperti mati rasa. Hanya seseorang itu yang seakan bisa mengubah batu jadi emas. Walau banyak emas yang tak perlu dihasilkan oleh batu, di sekitar kita, yang luput dari perhatian.
Kemudian aku mendengar, dia sudah menemukan pasangan tango baru. Itu tidak masalah bagiku. Karena memang aku tak lagi bisa mengikuti geraknya. Tapi paling tidak, dia menemuiku. Ah, tapi bagaimanapun caranya, ditinggalkan selalu menorehkan kepedihan, ketidakterimaan, bukan. Jadi apa bedanya? Lalu toko bunga itu hadir.
“Aku menghibur banyak orang dengan bunga seperti dulu aku menghibur orang-orang dengan tarianku. Tidakkah kamu tahu, bunga-bunga pun menari, bernyanyi, kadang menangis,” kataku. Kamu tersenyum. Menyeruput kopi yang sudah dingin.
“Tapi kadang-kadang, aku masih bisa merasakan kehadiran. Di antara bunga-bunga yang kubuat untuk orang yang sedang jatuh cinta. Seperti aku pernah membuat bunga-bunga untukmu. Ha…ha…ha…betapa terasa konyol yah,” kataku. Kamu tergelak.
Di luar sana, bulan melengkung keperakan. Langit monokrom. Tak ada warna. Kecuali warna bulan, sedikit bintang, dan bayangan kita. Malam itu, adalah malam terindah yang terjadi di toko bungaku. Sekaligus menjadi malam terakhir kamu datang ke tokoku. Sejak itu, kurasakan tak pernah ada langit purnama singgah ke tokoku. Ketika aku tak lagi bisa menemukanmu. HP-mu tidak aktif. Kuketik namamu di banyak media sosial, tapi tak ada yang terlihat sebagai akunmu. Aku kehilangan. Rasanya lebih pedih daripada melihat bunga yang batal mekar. Aku berharap kamu datang lagi, seperti kuncup yang merindukan pagi untuk mekar. Karena sejak malam terakhir itu, aku baru menyadari, bahwa aku bisa jatuh cinta lagi. Padamu.
Note:
Cerita ini bermula dari kiriman dari Mba Ruth tentang Kismet Dinner dan obrolan dengan Bu Raras tentang bunga. Untuk mereka berdua, terima kasih…