Aku masih suka melihat senja turun di luar sana. Hingga kini. Puluhan tahun berselang. Setelah senja terakhir yang kita lihat dahulu. Senja yang selalu kita saksikan dari bukit – bukit pasir di pabrik peleburan aspal, samping desa kita. Senja itu, katamu senja paling indah yang pernah kau saksikan. Cerobong asap, molen, truk – truk raksasa pengangkut pasir menyala terang.
Pun sumur hitam tempat merebus aspal yang menelan ayahmu tahun lalu, ikut memantulkan cahaya senja itu. Warna emasnya menyepuh hampir semua lapisan langit. Tak ada selapis awanpun yang berani datang. Kau menyebutnya, senja dua puluh empat karat. Senja yang paling murni tanpa campuran imitasi.
Aku masih ingat, dan selalu akan kuingat. Bagaimana raut kagummu menatap horison barat. Wajahmu, seperti haus yang menemukan air. Bibirmu, terkatup rapat. Seakan gerakan selembut nafas pun akan menurunkan karat senjamu. Matamu, ah mata itu… detil wajah yang paling tak bisa kulupa. Mata coklat yang biasanya redup, bersinar laksana matahari kembar. Aku terpesona saat kau terpesona pada senjamu.
Ne, aku tahu Tuhan Maha Murah. Senja sebegitu indah, digratiskan pada semua makhluk, tanpa kecuali. Termasuk aku yang tak bisa membayar.
***
Puluhan tahun kemudian, senja di luar sana terbingkai jendela kantorku yang berada di lantai dua puluh satu. Senja bersih tanpa debu yang menggimbalkan rambutku. Karena aku tak perlu lagi harus mendaki bukit pasir dan menantang angin kemarau yang membawa tajamnya serpih pasir. Senja yang menyepuh langit Jakarta kusaksikan demikian perkasanya. Apakah ini senja dua puluh empat karat itu ? Tiba – tiba rindu purba itu menyapa kotak kenangan akan dirimu, Nahara. Lelaki yang jatuh cinta pada senjanya.
Dengan kecanggihan teknologi, aku mencarimu. Kumasuk ke mesin pencari di dunia maya. Kuketik namanya untuk kesekian kalinya. Nahara. Detik merambat pelan seperti berjalannya evolusi. Mesin pencari itu nampaknya bekerja sedemikian keras. Menelusupi bermilyard rimba dokumen. Aku berdebar dalam sunyi. Menunggu. Seperti Sizypus yang selalu mengangkat batu ke atas bukit dan menjatuhkannya kembali. Ya, aku sudah tahu akhirnya. Bahkan setiap larik kalimat dan sumber yang ditampilkan, nyaris tidak ada yang baru dari hari ke hari. Sederet iklan kosmetik hingga obat kuat berlabel Nahara. Sederet situs yang menawarkan ragam imaginasi yang menggunakan suku kata Na Ha Ra. Hanya satu website yang selalu membuatku terpaku dan entah sudah berapa kali kubaca. Nahara, the baby name from Armanic language mean light.
Cahaya, kau kah itu ? Pendar piksel monitor itu membawa ingatanku pada cahaya itu. Yang selalu ada untuk menjadikan sekelilingnya punya warna. Sebagaimana kau telah lakukan banyak hal untukku. Mulai dari memetikkan buah kelapa ketika aku kehausan. Membantu menggiring si Menot, kambingku yang suka ugal – ugalan. Menyelamatkan aku ketika aku nyaris tenggelam di Sungai Pepe. Atau memanggangkan ayam paling gurih yang pernah kumakan. Ayam – ayam sial yang terjebak ke kubangan aspal.
Sudah menjadi kesepakatan warga pinggiran pabrik aspal, kalau ayamnya terjebak di kubangan hitam itu artinya milik umum. Dan kami – kami penggembala kambing inilah yang rajin menemukan dan terkadang, sedikit sengaja menjebloskannya ke lelehan aspal yang bertebaran dimana – mana. Itu adalah rejeki sederhana bagi orang – orang yang makan belum tentu bisa tiga kali sehari, tanpa jaminan kesehatan dan asuransijiwa jika terlindas gilingan aspal. Dan Nahara, kerap merelakan makan siangnya beralih ke perutku. Dengan senyum dan ikhlas. Kau… selalu punya energi lebih jika melakukan segala hal untukku.
Tetapi ketika kau benar – benar butuh pertolonganku, aku tak mengerjakannya dengan sungguh – sungguh. Di bawah senja dua puluh empat karatmu itu, tiba – tiba angin bertiup kencang sekali. Menghujamkan kristal pasir serupa jarum jahit. Coklat matamu terlambat memejam. Serpih – serpih pasir itu hinggap di sana. Bertengger kukuh menoreh sejarah duka.
Ne, tolong aku. Tiup mataku sekeras angin tadi.
Aku tergelak mendengar permintaanmu. Lalu sembari ketawa aku meniup matamu. Bukannya angin yang keluar tetapi ludahku muncrat membasahi wajahmu. Kamupun tertawa sembari menutup matamu. Serpih pasir itu berdiam di sana. Hingga berhari, berminggu. Menggoreskan luka di lensa matamu. Luka yang berbeda dengan luka di lutut kita tatkala terjatuh main layang – layang. Luka gores yang tak biasa. Hingga pandangan matamu meremang.
Ne, kok senjanya agak gelap. Sepertinya mendung ya ? Ayo kita cepat pulang, nanti kamu kehujan.
Kugigit bibirku keras – keras. Darah asin kucecap. Hatiku menjadi lebih kering dibanding angin kemarau yang berhembus. Aku tahu luka di matamu mulai menumbuhkan kabut. Andai aku bisa membawamu ke dokter spesialis mata. Sebuah jabatan megah yang hanya bisa dikunjungi oleh mereka yang makannya lebih dari tiga kali sehari. Bukan seperti kita. Terkadang aku menebak, kenapa kau sangat suka melihat senja. Di sana kau temukan masa depanmu, harapanmu dan kemegahan yang menganga di horison. Frasa yang sulit kita jelaskan dengan benderang.
Ah ya, kau tahu Ne… kemarin aku nemu pohon mentaos*. Kau bantu aku ya, petik daunnya. Tetesin ke mataku biar…biar enggak gatal lagi.
***
Pohon mentaos itu tumbuh di pojok desa, samping makam tua. Aku tidak tahu pasti, berapa umurnya. Kukira, sudah seusia bumi. Pohonnya kurus kering dan rasanya tak pernah bertambah besar. Bunganya berwarna kuning bermahkota tebal. Bagian tengah daun terdapat kerucut berwarna kuning yang menjebak lalat. Mulutnya yang menjilat makanan terjepit di antara rongga kerucut hingga lalat tak bisa terbang. Daunnya halus seperti beludru yang dikenakan Pak Bupati sewaktu kunjungan.
Getah dari daun itulah yang menjadi cairan ajaib ketika wabah mata merah menyerang desa kami. Juga banyak penyakit mata lainnya tersembuhkan oleh getah susu yang menetes sepanjang waktu. Hingga akhirnya kami, warga desa mengganggap mentaos sebagai pohon sakti yang dikirim Tuhan.
Pernah suatu ketika, Pak Kades merasa terganggu dengan tingkah rakyatnya yang mulai mendewakan mentaos. Beberapa polisi menjaga sekeliling pohon dan memasang garis kuning. Mas Rukam, satu –satunya warga desaku yang kuliah di kota berusaha menjelaskan tanaman itu berbahaya jika digunakan tanpa sepengetahuan dokter. Mas Rukam menjelaskan berapi – api dengan kata – kata yang begitu pintar. Kata – kata yang susah dimengerti otak bocah sebelas tahun. Istilah – istilah medis, bahaya, zat kimia, resiko kesehatan dan banyak lagi. Semua itu barang – barang baru yang sama sekali aku tak mengerti. Juga ayah ibuku yang tak mencicipi bangku sekolah.
Di balik kebingunganku, kala itu aku begitu terkesima dengan bangunan yang namanya, kampus yang bisa menghasilkan orang sepintar Mas Rukam. Pintar dalam segala hal. Betapa tidak, Mas Rukam yang katanya kuliah di Akutansi Manajemen bisa menjelaskan tanaman secara rinci. Hanya saja, Mas Rukam tak bisa menjawab pertanyaan ketika Mbok Kirah, ibunya Nahara menanyakan,
Mas Rukam, apakah tenaga medis yang sampeyan maksud itu bisa gratis seperti pohon mentaos memberikan getahnya ?
Ilmu Mas Rukam tak bisa menjawabnya. Juga Pak Kades yang akhirnya memilih pergi sembari menunduk. Getah susu itu terlampau sakti untuk dikalahkan, termasuk oleh brigade polisi. Getah susu itu lambang keyakinan dari masyarakat sederhana yang lahir dari alam. Tetapi kesaktian dan keyakinannya tidak untuk Nahara, produk bayi moderen yang terdampar dari peradabannya. Seberapapun getah susu itu menetesi matanya, sekuat Nahara menahan panas yang membakar, infeksi itu terlampau kuat untuk dilawan. Dia seperti iblis lapar yang menelan kedua bola mata coklat dalam sekali teguk. Bola matanya keruh, hitamnya memutih. Sepasang mata itu menjelma menjadi sepasang lubang maut yang sedemikian pekat. Senjapun tak lagi menyala di mata Nahara.
Ne, berjanjilah padaku satu hal. Kau tidak akan menyerah. Kau tahu, Tuhan akan memberi kita apapun yang kita minta bila tiba saatnya.
Kemarau menggerus rasaku tanpa ampun. Kurasakan ilalang yang biasanya lembut bergoyang, kini tegak menusuk ulu hati. Aku ingin memelukmu seerat kau menjagaku selama ini. Aku ingin membagi mata, jika itu yang kau minta. Sebesar apapun keinginanku memindahkan gunung untukmu, namun apa daya bocah kecil usia sebelas tahun ? Aku hanya bisa duduk disampingmu, selalu. Menceritakan warna senja hari ini, hari esok dan esok.
Hingga angin berubah arah, meniupkan harum bunga. Perjalanan panjangku menempatkanku di kota ini, ratusan kilometer dari bukit pasir itu. Kota yang menawarkan sejuta cara untuk menyiasati hidup. Tanpa aku tahu, dimanakah kau berada. Aku sudah lelah mencarimu. Awalnya di setiap sudut kota yang kulalui, aku selalu memperhatikan pengemis, pengamen, anak jalanan atau apapun yang kerap diidentikan dengan dirimu. Di antara ratusan orang yang berprofesi itu, tak kutemukan dirimu. Aku tahu, kau takkan pernah menyerah. Itulah kenapa kau dinamai Nahara. Segelap apapun duniamu kala itu, kau masih mencoba menerangi jalanku. Terang itu masih kurasakan hingga kini. Terutama ketika senja merah yang demikian bening melingkupi hari. Nahara, mungkinkah kau masih bercahaya ?
***
Kurasakan angin menghembus di sela – sela rambutku. Angin yang biasa. Tapi menghenyakkanku. Bagaimana mungkin, angin bisa berhembus di gedung yang tertutup rapat. Kuperhatikan jendela untuk meyakinkan bahwa benar – benar terkunci. Dari jendela itu kulihat, horison Jakarta menyala. Gedung, apartemen, jalan raya dan semua yang mungkin kulihat dari jendela kantorku menyala terang. Gedung – gedung itu ada di sudut jatuh sinar matahari hingga mengembalikan semua cahaya dengan sempurna. Langit menangkapnya menjadi kilau emas yang menyepuh seluruh muka bumi. Di ujung cakrawala, aku melihat sepasang mata tengah tersenyum padaku. Mata yang menyala oleh cinta. Mata yang jatuh cinta pada senja dua puluh empat karat. (Titik Kartitiani)
Lantai 5, Kebon Jeruk, suatu senja
Note: dimuat di Suara Pembaruan, Januari 2010