Aku suka datang ke kafe ini menjelang tengah malam. Lalu mencari tempat duduk paling ujung, dekat jendela yang menghadap ke tubuh sungai.
Dari sini, aku bisa melihat katedral dan masjid terbesar di kotaku berdampingan dengan damai. Dibelah sungai yang nampak berkilau memantulkan lampu merkuri yang tersisa satu dua. Malam memang lihai menyembunyikan keburukan menjadi keromantisan. Sungai yang bau menjadi lebih indah jika dilihat di malam hari. Permukaannya licin dan seksi.
Berlatar keseksian sungai dan malam, lelaki itu kulihat nyaris seperti kegelapan. Duduk menghadap jendela yang berseberangan denganku. Tingginya 180-an cm, lumayan tinggi untuk ukuran orang Indonesia. Bilangan ini valid, karena kalau berdiri dahinya setinggi kusen jendela. Aku pernah mengukurnya suatu saat ketika aku bosan duduk dan melamun. Kulitnya lumayan terang, mungkin ada campuran ras Kaukasia. Ini merujuk pada hidungnya yang seperti sisi miring Phytagoras. Rambutnya lebat setengkuk dan berwarna kemerahan. Wajahnya itu, selalu menyala memantulkan cahaya laptop yang setia menatapnya. Setiap kali kulihat dia, selalu mengetik dan mengetik.
Mungkin ia seorang wartawan atau penulis. Aku lebih suka memikirkan si lelaki bermata kejora itu adalah penulis. Ini kusimpulkan dari ekspresi wajahnya yang selalu berubah sembari menatap layar monitor. Terkadang ia nampak serius, mungkin sedang memikirkan plotnya. Terkadang muram, tanda si tokoh sedang menghadapi masalah. Yang paling kusuka saat kedua sudut bibirnya tertarik ke belakang, membentuk sketsa senyum. Kurasakan udara menjadi lebih bersih, aroma kopi lebih harum dan musik serasa mengalun lebih mengharu biru.
***
“Selamat malam. Single origine Java Jampit… seperti biasa?” sapa barista. Aku tersenyum, tidak langsung mengangguk. Kenapa hari selalu seperti kemarin? “Oh, kebetulan kini kami punya menu yang baru launch tadi pagi. Wamena Papua, mau mencoba?”
“Dari Wamena maksudnya?” tanyaku menegaskan.
“Betul sekali. Kopi yang ditanam di puncak-puncak perbukitan keras di Wamena. Petani menyerahkan bayi-bayi biji yang diasuh oleh alam. Susah sekali mengirimkan pupuk maupun sarana pertanian ke puncak itu. Jerih payah berpuluh-puluh tahun akhirnya terbayar dengan panen terbagus tahun ini. Kami mendapatkan satu karung bean dan roasting sedikit lebih lama dari Java,” cerocos barista itu dengan nada meliuk-liuk seolah semalaman ia menghafalkan frase ini.
“Hasilnya?”
“Single origine dengan aroma basah hutan tropis, keasaman sedang dengan bodi skala 8 dan finishing yang tak terlupakan,” ujarnya bukan lagi meliuk-liuk, namun melenggang. Aku pun terpesona.
“Baiklah, satu size tall,” pesanku. Barista itu tersenyum dengan kedua lesung pipit yang langka untuk wajah lelaki. Senyum kemenangan atas keberhasilan mempengaruhiku untuk mengubah rutinitas. Kali ini, aku memang ingin sedikit berbeda. Pun dalam hal memilih tempat duduk. Aku menempati kursi yang biasa lelaki itu duduki. Aku ingin tahu, lukisan apa yang ditawarkan oleh jendela ini. Samakah dengan lukisan di jendelaku? Atau, bagaimana ekspresi lelaki itu. Yang kukenal hanya dari saling memandang.
Dia datang dengan tas punggungnya. Seperti perkiraan ia terkejut melihat ke arahku. Aku pura-pura serius dengan bukuku. Baiklah, mari kita bertempur. Kucengkeram buku tipis ini erat-erat tatkala ia sudah sampai di dekatku dalam jarak yang cukup untuk mendepakku. “Selamat malam, Nona. Anda punya buku yang menarik. Saya sudah lama mencari yang edisi asli, seperti yang Anda baca sekarang,” sapaannya terdengar jernih, berwibawa, dan tidak sedang ingin menendangku.
“Oh,” hanya itu kataku sembari melihat ke sampul buku yang berwarna putih lecek, dengan awan-awan warna merah. Tegak Lurus dengan Langit – Iwan Simatupang, baru sekarang aku membaca judulnya.
“Memang sudah diterbitkan ulang. Tapi sayang, penerbitnya lupa menyertakan ilustrasi tiap cerpennya. Ada salah satu ilustrasi yang aku suka. Di halaman 23, seorang laki-laki yang nampak menang karena menyelesaikan dendamnya. Tetapi sekaligus menampakkan kekalahan telak. Sebuah paradoks yang selalu mengikuti manusia, kurasa itu,” katanya. Aku benar-benar tidak siap menghadapi salam perkenalan, yang kalau boleh disebut begitu.
“Oh, maafkan saya telah mengganggu Anda. Silakan diteruskan membacanya. Mungkin lain kali, jika Anda berkenan, saya akan meminjam buku itu. Selamat malam, Nona,” ujarnya dengan tersenyum. Senyum yang lebih cerah nan merdu bila dibandingkan ketika ia melukiskan kelucuan tokohnya. Karena kini yang tersenyum adalah si tokoh itu.
Kulihat punggungnya menjauh, melewati beberapa kursi. Lantas mengambil tempat duduk persis di mana biasanya aku duduk. Sesaat wajahnya menatap ke arah jendela. Kutahu apa yang ia saksikan. Katedral dan masjid terbesar di kotaku berdampingan dengan damai. Dibelah oleh sungai yang nampak berkilau memantulkan lampu merkuri yang satu dua masih tersisa. Sungai yang lebih indah jika dilihat di malam hari, permukaannya licin dan seksi.
Lalu ia berpaling ke arah layar monitor yang berpendar-pendar, terpantul dari wajahnya. Wajah itu menyala bagai spektra. Seperti pelangi yang lupa menghilang ketika hujan telah lama berselang. Lalu tenggelam dalam pusaran warna. Ia menjelma menjadi lelaki yang berlatar malam.
Sementara aku mendapatkan jendelaku dengan lukisan yang sungguh beda. Sungai yang lengang berbisik sama pelan. Empat orang mendorong gerobak. Lalu berhenti tepat di tengah bingkai jendela. Lelaki besar, kukira ayahnya, menggelar tikar. Dua bocah kumal, tergeletak di atasnya. Si perempuan yang seperti ibunya, mengeluarkan dua lembar selimut dari tas kantong plastik. Lalu menyelimuti si cuplis kecil yang berontak menendang selimut itu. Lantas kedua orang tua itu pun ikut berbaring di samping si bocah. Lelap. Sungai yang lengang membisikkan lagu mimpi semimpi-mimpinya.
Di seberang sana, kulihat katedral dan masjid yang terbesar di kotaku, namun tidak saling berdampingan. Yang satu menutupi yang lain. Pun pantulannya yang membekas di riak sungai, saling menghilangkan. Ah, sedikit bergeser sudut pandang, ternyata berbeda sekali bingkai lukisan malam yang kulihat. Kini aku memiliki bingkai jendela yang dinikmati lelaki itu setiap harinya. Bingkai yang tak kusuka. Tiba-tiba aku begitu menginginkan kursiku di ujung sana. Ada sedikit sesal menggaris yang tak bisa kujelaskan dengan bait.
***
Butuh waktu lama aku bisa kembali ke kafe itu. Karena kotaku dalam keadaan siaga. Dua bom meledak di pusat kota. Melahap hotel milik asing yang menginapkan banyak orang asing juga. Bom itu menewaskan banyak orang, tak semuanya orang asing. Aku tak tahu, apakah para pegawai rendahan di hotel itu, orang-orang yang tak sengaja lewat, para ayah yang sedang mencarikan setetes rezeki untuk anak-anaknya, adalah termasuk sasaran bom yang katanya untuk memusnahkan kejahatan. Apakah Tuhan akan menghadiahkan sepetak surga bagi mereka yang melemparkan bom untuk orang yang tak berperang? Aku tak tahu.
Media gencar memberitakan tiap serpih bom yang terlontar. Isu kelaparan dan nasib pinggiran yang nyaris terpenjarakan pun terlupakan. Di saat kebosananku mengikuti setiap detail serpihan bom yang aku tak tahu, apakah masyarakat bisa melupakan deritanya dengan berita itu, aku datang ke kafe itu lagi. Di kursi yang biasa aku duduki. Kali ini, aku memesan single origine Java Jampit. Seperti biasa. Ketika mataku menangkap gambar di pintu kafe. Most wanted terkait ledakan bom! Wajah itu, lelaki itu? Aku menunduk, gemetar.
Tiba-tiba kakiku menyentuh sesuatu. Sebuah flash disk tertindih kaki meja. Sarafku menegang. Kuambil laptop yang selama ini ikut membebani punggungku tanpa aku pernah menghasilkan secuil kalimat pun. Rasanya, laki-laki itu hadir dalam benda seibu jari ini.
Detik loading terasa begitu lama, padahal laptop ini sudah dibekali memori paling canggih. Pada saat tertentu, peralatan canggih pun kalah dengan emosi. Begitu masuk dalam jaringan, terbaca: Emora. Lelaki itu kah? Aku sudah membayangkan akan mendapatkan sederetan kalimat yang menegangkan dari flash disk ini. Misalnya sejumlah target pengeboman atau sejumlah rencana mengerikan. Tanganku kebas. Apa tidak sebaiknya aku langsung laporkan ke polisi saja? Karena aku menemukan barang bukti. Dan itu penting sekali. Belum pernah dalam hidupku aku merasa sepenting ini. Dalam kekalutan itu, kubaca salah satu file yang terbuka.
Dari jendela ini, aku melihat siluet katedral dan masjid agung itu berdampingan dengan anggun. Lalu sungai mengalirkan kejernihan dalam damai. Dua gelandangan menyanyikan lagu cinta. Irama purba yang lama tak kudengar. Sayang, aku mendengarnya ketika aku sudah berdiri, tegak lurus dengan langit.
Kembali aku mengingat buku kawanku yang disukai oleh lelaki itu. Ketika si tokoh kita berdiri tegak lurus dengan langit, dia telah melakukan pembunuhan itu. Paling tidak itu yang aku ingat. Andai aku menduduki kursimu seminggu, sebulan atau setahun sebelumnya, mungkinkah peledakan ini bisa kucegah? Kiranya tak sesederhana itu.
Di luar sana, riak sungai membisikkan fajar. Kubuka jendela kafe. Dengan sekali ayun, flash disk itu melayang berkilauan oleh sinar yang kepagian. Lantas lenyap ditelan tubuh sungai yang terlihat hitam, lebih hitam dari warna hitam yang paling hitam.
Newseum Cafe, suatu malam dengan segelas frapuccino green tea
Note: Dimuat di Suara Pembaruan, 26 Februari 2011
1 Comment
Nice contemplation ….