Oleh : Titik Kartitiani
Angin Jakarta menggoyang daun jambu di depan rumah sederhana, salah satu petak di antara jutaan petak yang berebut ruang. Saya melihat siluet lelaki itu, matanya menerawang melintasi teralis jendela, melewati waktu. Saya mengenalnya. Sangat. Terutama sepasang matanya yang tak pernah menua, tak tunduk pada rupa rambut yang sudah bertaburan benang sari bunga jambu. Mata yang bulat, hitamnya pekat, putihnya bening, kedipnya penuh wibawa, sinar yang dipijarkannya penuh melankoli, sekaligus kekerasan, yang berbatasan dengan kekejaman.*
Andai sepasang sayap imitasi sepertiku bisa menyatakan cinta pada matanya, pada punggung yang pernah membuatku berkilau. Saya akan mengatakan bahwa sungguh saya mencintainya tanpa syarat dan tanpa batasan waktu. Hingga punggung itu tak lagi tegak, tak lagi perkasa. Hingga panggung itu tergulung dan sejarah melupakannya. Hingga lelaki yang dulu sakti mandraguna, otot kawat tulang besi didera encok dan rheumatik yang menyayat hati. Saya akan tetap mencintainya, membawanya terbang ke mana dia ingin.
***
Saya mengenalnya, 30 tahun silam. Ketika lelaki itu datang padaku yang bertengger di kotak kayu bersama dengan baju wayang yang lain. Saat itu, saya masih muda belia, baru selesai disungging. Tubuhku masih beroma cat dan dan tulang penyu.
“Itu sayapmu. Kukira pas untukmu,” kata Pak Dalang, sutradara sekaligus penulis lakon. Masih lekat dalam ingatanku, Gathotkaca dalam imaginasiku berwujud saat itu. Batik parang barong yang terlilit menumbuhkan sepasang kaki kekar mendepak kejahatan. Sepasang mata tajam tapi menawarkan perlindungan. Kumis tebal yang berpijak pada senyuman yang mahal. Dada sepetak bidang harap dengan kilauan bintang keemasan. Kelak di dada itu akan tertancap busur Karna, si pemanah jelata yang kesaktiannya menyamai Arjuna. Saya tidak pernah bisa menggapai dadanya, karena saya hanyalah sayap yang bertengger di punggungnya. Sayap yang menjadikannya menjadi penguasa angkasa Kurusetra. Walau akhirnya menyelesaikan baktinya sebelum perang berakhir, namun ksatria dari Pringgodani itu akan membangun memori kolektif bocah – bocah belia kelak. Langit jutaan mata yang menontonnya, dari tonil ke tonil. Dari jaman ke jaman.
Saya masih ingat, pentas malam itu. Seperti biasa, ketika Gathotkaca keluar dan berlaga. Ratusan pasang mata malas berkedip, degup jantung perawan desa berdetak mengembangkan sayap – sayap romantika dan berpasang – pasang mata belia bersinar pada pahlawannya. Mereka tidak mengenal Superman, Spiderman atau Batman. Mereka hanya mengenal Gathotkaca, yang bisa terbang di langit dan menumpas kejahatan.
Esok harinya, anak – anak gembala berebut peran Gatotkaca. Bukan di atas tonil tentunya. Namun ladang kering kemarau di mana kambing dan domba mengais sisa rumput yang malas berpucuk. Dengan selendang dari bagor **wadah rumput dan badan mungil yang dikekarkan, Kurusetra mungil di ladang kering pun dipentaskan. Mereka berperang dalam tawa, bergelut dengan imaginasi heroik.
“Kelak kalau aku dewasa, aku akan menjadi Gathotkaca. Akan kuhantam Pak Mandor tebu yang suka mengejar – ngejar kita,” ujar bocah kuncung, yang kemarin lusa dijewer hingga merah karena ketahuan mencuri tebu dari perkebunan rakyat. Padahal dia juga mencuri tebu yang ditanam bapaknya sendiri, hanya lahannya saja yang bukan milik si bapak.
“Aku juga mau jadi Gathotkaca. Yang punya kerajaan Pringgodani. Aku jadi raja yang kaya,” kata bocah yang lain. Kaya dalam bayangannya adalah terbebas dari hutang dan sistem ijon yang membuat keluarganya tak pernah melihat padi menguning.
Sementara Gathotkaca yang semalam, lewat jalan berdebu yang melintang. Dia baru saja dari rumpun tebu melepaskan hajatnya. Di desa itu, ladang tebu adalah WC umum tanpa bayar. Dari ladang, kembali menyuburkan ladang, demikian siklus ekologinya. Saat tubuh perkasa melintasi anak – anak gembala mau tak mau ia senyum – senyum sendirian. Dadanya mengembang walau tanpa tanda bintang.
Gathotkaca di siang hari tak pernah punya kerajaan. Dia tinggal di gubug reyot, numpang di lumbung Pak Lurah. Bersama dengan Bhima, Arjuna dan Pandhawa lainnya. Gathotkaca siang hari ototnya kekar bukan karena berlatih di padhepokan silat, tapi angkat cangkul jadi buruh tani. Kekekaran otot itu masih terbawa di malam hari, di kilau tonil, saat memanggulku, sepasang sayap di punggungnya.
Gathotkaca tanpa sayap, tanpaku, tentunya bukan lagi Gathotkaca. Yang kemudian terbang sampai Jakarta. Kejadiannya tidak berselang lama dari pentas yang saya ingat tadi. Pak Lurah mengumumkan dengan mata bersinar tapi raut sedih. Bersinar, karena rombongan wayang orang itu boleh manggung di televisi pemerintah. Adanya di Ibu Kota Negara, Jakarta sana. Berharap berbaikan nasib para seniman dan bukankah Jakarta seperti madu yang merayu ? Sedih tentunya, warga akan kehilangan tontonan yang menjadi tuntunan, sesederhana apapun.
“Saya akan tetap menjadi Gathotkaca dari desa ini, tidak pernah tidak,” kata Gathotkaca di balai desa, saat kenduri pelepasannya ke Jakarta. Gadis – gadis pupus harap, bocah – bocah gembala menampakkan raut hampa kehilangan pahlawannya.
“Kalian masih bisa menontonnya. Nanti kampung ini akan punya televisi di balai desa,” janji Pak Lurah. Bukan sekadar kampanye dan melankoli belaka. Bila kemudian Pak Lurah ini menjadi Lurah untuk kedua kalinya, dan membelikan televisi untuk warganya. Di balai desa itu pula, sepetak semesta mungil memori Gathotkaca yang sekarang di ibukota, bisa disapa. Tidak hangat memang, tapi tetaplah membanggakan. Ditambah lagi dindingnya berhiaskan foto Monas dan Kebun Binatang Ragunan, kiriman dari Gathotkaca melalui pos kilat khusus.
***
Gathotkaca dan Pandhawa di Jakarta tak ubahnya Gathotkaca yang mencangkul di sawah saat matahari garang di langit siang. Gathotkaca di Jakarta punya ruang sendiri dalam susunan acara televisi. Dia terbang mengudara tiap hari Minggu tiba. Tentunya, dinantikan seluruh persada pun mata demi mata yang terpesona. Lesatan ribuan blitz kamera mengabadikan kegagahan dan fragmen kedigdayaannya. Saya melihat, cover majalah Ibu Kota mengabadikan masa jaya nusantara lama itu terbingkai apik di biliknya. Masa jaya sang Gathotkaca dengan sayap dan kumisnya.
Hanya saja, sepotong cover era 1980-an itu berdebu sudah. Fragmen yang tak mampu melawan kekuatan Batman, Superman dan Spiderman. Mereka sudah lebih kuat menutupi langit pemikiran anak – anak yang lahir kemudian. Tidak bisa disebut prahara saat Gathotkaca harus bertekuk lutut pada gadget dan serbuan panah – panah ekonomi predator yang menggilas melankoli dan memorabilia. Hidup tak lagi gemulai sebagaimana tarian Sembadra, bibi Gathotkaca. Dia tak lagi punya secuil Pringgondani di Ibu Kota. Mereka tinggal di kaki kemegahan. Gemerlap panggung tak pernah identik dengan gemerlap kenyataan.
Tiga puluh tahun berlalu, Gathotkaca sudah nyaris seperti museum. Diingat dengan melankoli tapi lebih sering dilupakan. Sesekali dia masih diundang pentas, dengan para Pandhawa yang sudah tak lagi lengkap. Yudhistira pulang kembali ke desanya, menjadi kuli. Arjuna tak jelas nasibnya. Sementara Pak Dalang, sudah menjadi nisan di TPU Karet.
Saya masih menemaninya, hingga malam itu. Malam terakhir saya terbang bersamanya, bertengger di punggung yang tak lagi tegap. Kilauku sudah kusam karena payet – payet yang menempel sudah luntur. Tak ada tangan – tangan yang bisa menyulam dengan lembut. Di ujung sayap, ada sobek sedikit, sobek luka yang mengiris. Luka itu karena tersangkut saat panggung dirobohkan oleh orang – orang yang tak kukenal. Alasannya, panggung itu belum mengantongi ijin. Gathotkaca, Bhima dan segenap ksatria tentu tak bisa melawan kekuatan itu. Kekuatan di luar panggung yang ahistori.
Dengan muka kelabu, Gathotkaca termangu di biliknya. Penerangan seadanya, melepas diriku pelan lantas meletakkan begitu saja. Melepaskan kumisnya, melepaskan busana kebesarannya. Sesaat meraba dadanya. Tidak ada panah Karna di sana. Tapi dia sudah gugur malam itu. Gugur yang ini, lebih mengiris dibanding gugur di Kurusetra. Dia gugur atas nama kebenaran segelintir orang.
“Mungkin lain kali, kamu tidak perlu mengatakan bila Pak Kepala lebih culas daripada Sangkuni. Apalagi mengatakan kejahatan Kurawa menitis kepada pemimpin kita. Gendheng itu namanya. Kamu tidak tahu siapa yang mengundang kita ?!” cecar Bhisma yang melempar kuku Pacanaka-nya begitu saja. Kuku itu lunglai, tak lagi tajam.
Gathotkaca tak menjawab. Dia hanya membersihkan sisa bedah murahan dengan cairan permbersih yang seharusnya untuk tangan dan kaki, bukan untuk muka. Pelan sekali dia mengusap mukanya, menyusuri kerut demi kerut yang tak pernah susut yang terpantul di potongan cermin tak utuh. Di sana, dia menemukan masa lalunya. Masa saat sinar terang melambungkan dirinya. Blazzz. Kilatan itu nyata adanya. Kilatan blitz fotografer yang sejak tadi mengikuti. Dari petas, rusuh hingga sunyi di bilik masing – masing.
Fotografer itu salah satu dari sekian manusia yang masih menyimpan memori kolektif tentang Gathotkaca. Bocah yang dulu mengaku, pengin bisa mengalahkan mandor tebu. Gathotkacalah yang menyuburkan imaginasinya melawan kejahatan tanpa kompromi. Melalui piksel kameranya, dia ingin mengalahkan lembar – lembar ahistori yang melingkupi negeri ini. Tapi rupanya lara tak lagi membuka ruang hati Gathotkaca yang terlanjur getir. Bahkan sapa apa kabar dan saling mengenalpun belum sempat terucap.
“Haiiiiikkkkkkk….saya tidak mau difoto. Saya bukan ksatria. Gathotkaca itu sudah mampus !” teriaknya membelah malam yang menua. Cermin retak itu itu pecah sempurna. Cairan pembersih muncrat oleh amarah. Tetesannya membasahi kamera wartawan itu, membasahi lantai bilik yang tak pernah bersih, membasahiku. Semua mata mendongak padanya. Ngeri.
***
Noda pembersih itu masih membekas di tubuhku. Berupa garis – garis lekukan, seperti awan, namun tak membuatnya menjadi terbang. Sejak itu, saya tidak lagi dikenakannya. Teronggok di gelap kotak berdebu, berkawan dengan jamur. Getir dan sendirian. Lelaki itu, masih menatap jendela. Kematian tragis Gathotkaca sama saja membawa pergi rohnya. Dirinya sudah usai. Seperti sehelai daun jambu jatuh, usai tugasnya. Melayang pelan, seperti air mataku yang mengalir perlahan. Saya tetap mencintainya. Bukan karena kilaunya, tapi karena dia telah membuatku pernah berkilau.
Mengingat Petamburan, 2012
Catatan :
(*) dalam Tegak Lurus dengan Langit, Iwan Simatupang (1985)
(**) karung dari anyaman plastik (jw)